Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Kisah Awal Aku Yang Belum Menyadari Siapa Aku

     - Bangun- Hingar-bingar suara musik mengganggu lelap yang entah berapa lama, kapan pula dimulainya dan bahkan di mana? Aku berusaha membuka kelopak mata, tapi terasa berat. Apa karena terlalu lama tertidur, sehingga sempat kulupakan bagaimana caranya membuka mata? Sungguh, ini sulit sekali. Baiklah, aku tidak akan memaksa mata ini untuk terbuka. jadi biarkan saja sampai benar-benar siap dan jika memang sudah saatnya terbangun, maka aku akan bangun. Perlahan hingar-bingar itu menghilang berganti desau angin yang membawa sadarku pada padang rumput yang tidak semua merata ditumbuhi rumput. Rumput-rumput dan tanaman liar tampak bergoyang mengikuti hembusan angin ke utara. Kali ini mataku terbuka, tanpa ada kesulitan seperti sebelumnya. Hanya saja ada yang berbeda, sinar matahari tidak seperti biasanya, tampak biru. Dan baru kusadari bahwa semua yang terlihat diterjemahkan biru oleh otak dan mataku. Apakah ini efek tidur yang terlalu lama? Tunggu, apa mungkin aku masih tertidu

Mengalir

Alam pemandangan senja merupakan lambang waktu yang mengalir. Segala sesuatu terus mengalir. (Heraclitus) Dulu, dulu sekali, ketika kulitku masih sehalus bayi, dengan warna kulit yang putih bersih dan belum ternoda sengatan teriknya bundaran api pada siang di tengah lapang, ketika rambutku belum bertumbuh dengan lebatnya. Aku sering berpikir, kenapa aku bisa bersuara? Lantas dari mana asalnya kata suara? Bagaimana bisa suara itu terdiri dari huruf 'ES U A ER A'? Kenapa kata suara disebut sebagai kata dalam bahasa Indonesia? Dan selanjutnya pertanyaan itu lantas terus mengalir, lahir, beranak pinak, tanpa ujung, tanpa titik, bahkan tak berjeda, sebab terus menerus muncul begitu saja. Jadi, bagaimana mengakhiri semua pertanyaan yang pada akhirnya membuat kepalaku berdenyut lalu merasa seakan-akan mengembang perlahan-lahan, semakin besar, besar, besar dan ketika merasa pembesaran itu membuatku lelah, maka satu-satunya cara untuk memangkas kelahiran pertanyaan-pertanyaan yang

Review Buku Antologi - Nostalgia Biru

REVIEW BUKU Judul : Nostalgia Biru Penulis : Heru Sang Amurwabhumi, Vinny Martina, Wiwid Nurwidayati, Tita Dewi Utara, Dyah Yuukita, Nuha, Winda Astuti, Nazlah Hasni, Mabruroh Qosim, Hikmah Ali, Ane Fariz, Cenung Hasanah Penerbit: Embrio Publisher Genre: Fiksi, Antologi Tahun Terbit: 2018 Tebal: 176 hlm. 14 x 20 cm Membaca judulnya dari kata pertama, NOSTALGIA; otomatis mengantarkan kita pada segudang kenangan. Lantas BIRU; yang mengandung rindu, pertemuan, cinta, sekaligus pilu dan sedih yang mengaduk perasaan, merangkumnya menjadi warna-warni kisah yang bisa diambil hikmahnya.  Di awal, imajinasi saya dibawa berpetualang dalam deskripsi serta konflik yang apik pada kisah Memoar Kubah Langgar . Jangankan mereka yang mengalami kisah berdarah itu dengan mata kepalanya sendiri, saya yang cukup melihatnya (membaca) lewat kata-kata Mas Heru saja sudah terbawa rasa perih dan ngeri. Tulisan ini luar biasa. Pada Hikmah , air mata saya dibuat mengambang, mengisi rongga di

Di Keningku Mereka Tuliskan Satu Kata

Merdeka.com Aku yakin itu hanya mimpi. Tapi mereka bilang aku mengada-ada. Aku yakin itu nyata. Tapi mereka bilang aku berkhayal saja. Aku yakin baik-baik saja. Tapi mereka khawatir sejadi-jadinya. Aku yakin tidak melakukan apa-apa. Tapi mereka bilang aku adalah ancaman yang berbahaya. Di keningku, mereka tuliskan satu kata. Gila!! *** "Bagaimana kejadiannya?" tanya pria berseragam putih di hadapanku. Aku terdiam beberapa detik, menutup mata, memanggil ingatan yang masih saja pudar. Setelah mampu mengingat bagaimana awal dari kejadian itu, mengalirlah kata-kata membentuk kalimat, menjadi cerita. Pagi beranjak siang atau siang beranjak sore, samar-samar waktu kuingat. Bahkan bisa jadi saat itu subuh menjelang pagi. Entahlah, aku masih belum yakin. Seorang anak tiba-tiba saja masuk dari jalan samping menuju ruang makan. Dia berdiri di ambang pintu. Mengenakan baju kaos berwarna hijau tua, sedikit kebesaran, sebab ujungnya hampir menyentuh setengah paha. Be

Dia Pernah Ada di Sini

Hipwee      Bukankah sudah kuceritakan sosoknya yang ramah namun tidak segan marah jika satu dua hal tidak pantas terlihat di mata? Belum pernah dengar, ya? Baiklah, akan aku ceritakan bagaimana wanita dengan tinggi kurang lebih 165 cm itu pernah mengisi hari-hari dalam bangunan berlantai tiga ini. Baiknya dimulai dari mana? Aktivitas di balik meja kerja dengan posisi tepat di depan pintu masuk ruang kantor, atau tentang penampilan yang selalu sesuai selera? Ahh..., bagaimana kalau kumulai dari awal pertama dia menginjakkan kaki disini? Ada hal menarik yang sampai sekarang tidak bisa hilang.  Ini tentang corak baru pada jilbab hitam favoritnya yang tanpa sengaja menempel di dinding yang baru saja selesai dimandikan dengan cat minyak sewarna awan. Tentu saja putih itu tidak dapat ditutupi atau dihilangkan begitu saja. Dan dia pasrah, bahkan sesekali dengan santai mengenakan kembali jilbab corak baru-demikian nama untuk jilbab kesayangan- di hari-hari kerja. Di sela-sela kesib

Mengenalmu dengan Baik

     Aku sudah berada disini sejak sepuluh tahun yang lalu. Tapi bisa jadi lebih dari atau kurang dari itu, entahlah. Aku merasa sudah terlalu tua dan begitu lama berada di sini. Menatap pemandangan yang sama setiap waktu, kadang kosong, kadang riuh dengan aktivitas yang tidak pernah habis. Yah, kamu yang mengisi kekosonganku itu dengan berbagai celotehan, kadang pula dengan nyanyian yang lirik dan nadanya tidak jelas dari lagu berjudul apa. Sekali waktu, bahkan sedikit sering, kamu membaca potongan ayat dari salah satu surah yang entah bagaimana, mungkin karena isi otak terlalu penuh, ayat-ayat tersebut jarang sekali usai, bahkan bisa jadi menyeberang atau menyambung ke surah yang lain. Jika sudah begitu, aku hanya bisa tertawa, tentu saja caraku tertawa berbeda denganmu. Menggoyangkan bagian tubuh yang tertutup debu, atau bergeser sedikit dari posisi duduk agar terdengar gesekan besi dengan batang paku adalah caraku tertawa. Tentu saja kamu tidak tahu, karena jelas kita berbeda,

Manfaat Minum Air Putih Hangat

Pernahkah suatu pagi kita terbangun dengan rasa haus yang luar biasa? Apa yang akan dipilih untuk menghilangkan rasa haus tersebut? Apakah air dingin yang menyegarkan atau air hangat yang menawarkan manfaat? Tidak jarang dari kita akan memilih air dingin,  bahkan jika perlu air yang baru saja dikeluarkan dari lemari pendingin. Tentu selain memperoleh rasa dinginnya yang menyegarkan, harapan melenyapkan rasa haus dengan segera juga menjadi tujuan utama. Di lain waktu, minuman apa yang biasanya kita pesan usai menyantap semangkuk bakso? Kebanyakan dari kita akan memilih minuman dingin dengan dentingan es batu yang menari-nari dalam gelas kaca. Pasti sangat menyegarkan. Masing-masing dari kita tahu, bahwa minuman dingin memang lebih menyegarkan. Tapi tidak semuanya sadar bahwa dibalik minuman dingin dan menyegarkan itu ada hal yang bisa jadi membuat tubuh kita mengalami beberapa efek samping karena keseringan mengonsumsinya, seperti lendir dalam tubuh bagian hidung yang meng

Makhluk Asing

"Aaaa... sejak kapan kamu nangkring di sini?" aku kaget dan tidak bisa menerima kenyataan kalau makhluk kecil itu menempel dan numpang hidup denganku, "benar-benar tidak sopan !" teriakku menghardiknya yang kini tidak berdaya. Bergayung-gayung air kutumpahkan di atas kepala. Kesal bercampur penasaran, dari mana asalnya?kenapa bisa ada di kepala? Apa mungkin makhluk itu berpikir kalau rambutku ini adalah hutan rimba yang pantas ditempati? Enak saja. "Aresaaaaa... Kamu mandi, apa nguras bak air?" teriak ibu dari ruang dapur. "Are lagi ngamuk, bu...!" sahutku tidak peduli dengan tetangga di sebelah yang mungkin sedang melanjutkan tidurnya. "Cepat mandi dan isi lagi bak airnya sampai penuh!" kali ini suara ibu lebih nyaring, mengalahkan toa surau kampung. Buktinya, tetanggaku itu langsung nyetel lagu dangdut bersyair sendu dengan iringan musik disko. Ahh.. Aku bingung, frustasi dan tak ingin bunuh diri. Saat menggosok rambut yan

Sayang, Sabar ya!

"Kita tunggu hujannya reda, ya!" ucapnya sembari menepuk  lembut punggung tanganku. Mengalirkan sebentuk ketenangan yang entah bagaimana, selalu ada. Langit mulai jingga . Sebentar lagi matahari pulang keperaduan. Kukenakan jaket yang sedari tadi hanya disampirkan di bahu. Dinginnya mulai menusuk. "Sayang...!" panggilku mengalihkan pandangannya yang sedari tadi menatap jalan, "hujannya bakalan lama reda. Satu blok dari sini ada jalan besar. Di sana banyak toko-toko, beberapa ada yang menjual jas hujan. Kita beli jas hujan saja, ya?" tawarku. Perjalanan masih jauh, sedangkan jas hujan tidak tersedia di motor. Sampai kapan menunggu berteduh hingga hujan reda? Pikirku. "Tapi sekarang hujannya masih lebat, Nda." protesnya. "Tidak apa-apa, ada jalan pintas agar lebih cepat sampai ke toko itu." Aku memaksa. Ini harus, sebab waktu terus berputar. Satu jam dari tempat kami berdiri saat ini ada sebuah kapal kecil yang menunggu. Sampa

Gagal

Tiba-tiba aku merasa lemah. Pandanganku mulai buram. Samar-samar masih kutangkap suara para peserta membaca surah. Apa benda sepertiku juga bisa kerasukan. Tepat enam detik kemudian,  aku merasakan tubuh ini melayang. Sebelum menyentuh lantai dan berderai, masih kutangkap suara Mery yang cekikikan. "Sudah dapat dipastikan kali ini akan gagal. Acara ini, tujuan mereka dan tugasku, semua akan gagal." batinku Tiga hari ini tugas menyetorkan bacaan surah Al-Jinn dengan tartil menjadi ujian bagi para peserta calon guru tahsin. Indikasi semacam kejadian kali ini memang tidak asing lagi. Demikian penjelasan ustadz Rozi disela-sela meladeni Mery yang mulai lemah. Makhluk halus di dalam tubuhnya mungkin sebentar lagi akan menyerah. "Yang sudah baikan, setorkan lagi tugas hafalan yang tadi!" perintah ustadz pada peserta calon guru tahsin. Tinggal Mery yang masih bertahan. Tubuhnya bergetar. Perlahan ia merangkak mendekati Ustadz Rozi. Tangannya menggapai-gapai hendak

Kembali ke Cahaya

"Bu, tunggulah disini! Sebentar saja, Aku akan segera kembali." Umar berlari sekuat tenaga. Meninggalkan gubuk kecil di belakang punggungnya. Sesekali giginya berbunyi menahan dingin yang semakin tajam menusuk kulit. "Kamp Khan Younis... Khan Younis..." berulang-ulang bibir mungil Umar merapal nama tempat pengungsi yang terletak jauh di sebelah selatan jalur Gaza. Musim dingin membentang, menekan dan mencekam keluarga-keluarga miskin di pengungsian. Sesekali bantuan datang dari berbagai pihak. Tentunya dengan segala kesulitan melewati jalan masuk ke jalur Gaza. Banjir yang timbul akibat blokade yang berlangsung lama juga melengkapi usaha para sukarelawan yang hendak membagikan bantuan. "Di sana ada makanan, ada pakaian tebal, jika beruntung, kau juga bisa meminta selimut." Begitu berita yang Umar peroleh dari teman dan tetangganya yang mengungsi beberapa hari yang lalu. "Ya..., semoga aku beruntung. " Umar berbicara pada dirinya se

Pagi

Pagi. Seperti biasanya pagi datang lagi. Mengganti gelap menghampar terang yang perlahan, bersama iringan hawa dingin menjilat lembut kulit tubuh. Pagi yang selalu dinanti. Tapi, kali ini ada banyak yang berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Ya ..., pagi ini kamu tidak ada. Tidak ada wajah yang kutatap sekian puluh detik hingga puas sebelum beranjak turun dari ranjang. Tidak ada hembusan nafas dengan sisa aroma tembakau yang menggelitik rongga hidung. Tahukah? Ini ritual pagiku, mengagumi ciptaan Tuhan yang dilingkarkanNya di tanganku. Kamu. Sebuah karunia. Lantas ..., waktu berganti. Sepi mulai merajut jubah. Sungguh..., Aku sedang tidak berduka. Hanya sedikit bingung dengan ruang kosong yang tercipta, membuat jalanku terasa timpang. Ada bagian yang hilang dan kamu membawanya serta, pulang. Bahkan, selepas mengantarmu terbang, aku lupa jalan kembali ke peraduan, berputar-putar melewati jalan yang berbeda. Berkali-kali salah arah. Parah. Aku kosong ..., ini sungguh ter