Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2017

Tokoh Saya yang Keracunan

Saya memandangi layar laptopnya lekat-lekat. Warna layar putihnya diatur dengan seksama agar tidak membuat mata perih dan mudah lelah, walau sebenarnya Saya sudah sangat lelah. Kursor kurus itu terlihat seperti sedang menari-nari.  "Genit sekali!" umpat Saya sambil menyentil kursor. Layarnya lantas berkedut-kedut, mungkin merasakan sakit, "rasakan itu!" hardik Saya sambil menunjuk-nunjuk laptopnya.  Sudah satu jam Saya duduk takzim menghadap laptop. Keringat membanjiri wajahnya, membuat wajah manis Saya seketika berubah kusut, berkerut kerut dan syukurnya dia tidak sempat semaput walau berkali-kali sakit perut.  "Ahh... Baiklah, mungkin aku terlalu tegang." katanya, coba menghibur diri.  Di sisi kiri Saya, ada keranjang kecil tempat menyimpan makanan duo hamster jenis panda. Warnanya hitam putih.  "Perkenalkan! Nama mereka Bo-Lu. Mirip nama kue, kan?" ucap Saya memperkenalkan kedua binatang peliharaannya kepada makhluk

Ada Hal Lainnya

"Pak Edi..., saya hampir lupa mengatakan kalau tadi di pemakaman, saya menemukan bola milik Eve. Saya yakin itu milik putrimu karena ada nama kalian di bola itu." "Ya Tuhan, benarkah?" Aku yakin bola itu sudah hilang sejak kemarin. Bola itu menggelinding entah kemana. "Baiklah, terimakasih sudah memberitahukan keberadaan bola itu, Pak." akan kuambil bola itu, setidaknya itu akan menjadi barang kenangan terakhir kami.  Usai berbincang-bincang dengan Pak Juna dan menghabiskan secangkir teh aroma Melati, aku berpamitan dan kembali menuju pemakaman. Melewati bagian depan gerbang dimana tadi aku bertemu dengan laki-laki tua yang misterius.  Benar-benar aneh, aku yakin tadi sedang berbicara dengan laki-laki tua di depan gerbang pemakaman. Aku segera memasuki pemakaman. Dimana-mana, suasana pemakan selalu sama. Sendu.  Kutemukan bola Eve di dekat nisannya. Kenapa bola ini bisa ada di sini? Sungguh aku sedang malas berpikir, tidak masuk akal

Jangan Beri Tahu

"Legenda Tanah Subur? Maaf sebelumnya, anda tahu cerita ini dari siapa?" Pak Juna balik bertanya. Kujelaskan bahwa sekitar limabelas menit yang lalu, ada seorang laki-laki tua yang berbincang-bincang denganku mengenai cerita itu.  "Ah... Lebih baik anda tidak mengetahuinya, Pak Edi. Apalagi sekarang anda sedang berkabung." Pak Juna menolak untuk membicarakan. Aku sedikit kecewa. Sekian menit berikutnya kami berbincang-bincang tentang keadaan daerah ini sebelum aku pindah.  Usai menghabiskan secangkir teh, aku pamit dan berjalan keluar. Pak Juna mengantarku sampai ke depan pintu rumahnya. Ia menyarankan padaku agar lebih banyak berdoa dan menyibukkan diri, supaya tidak terlalu larut dalam kesedihan. Aku mengucapkan banyak terimakasih. Walau bagaimanapun, kata-kata orang tua ini ada benarnya. Aku mengucapkan salam dan berlalu pulang.  Ada perasaan yang nyaman setelah bertemu dengan Pak Juna. Aku merasa lebih tenang. Perbincangan kami yang tidak terlal

Aku Penasaran

Langit perlahan gelap. Sesekali kilat tampak diantara tumpukan awan mendung yang semak. Tanganku bergetar memasukkan tubuh Eve ke dalam lubang. Berharap apa yang kupikirkan terwujud.  Kembali kuingat kata-kata laki-laki tua misterius siang tadi, tentang Legenda Tanah Subur. Apa mungkin itu dapat mengembalikan sesuatu yang hilang? Mungkinkah?  " Tanah subur itu sesuai dengan namanya, Pak Edi. Menakjubkan sekaligus menakutkan. Kita tidak akan pernah mampu berpikir bagaimana bisa alam menciptakan kehidupan baru dalam satu putaran hari."  Menakjubkan sekaligus menakutkan. Apa yang akan terjadi dalam satu putaran hari? Otakku berpikir keras. Jika sesuai dengan perkiraanku,  pasti Eve dapat kukembalikan.  Siang tadi, aku memutuskan untuk mencoba, berlari secepatnya, berlomba dengan waktu, terserah jika kalian menganggapku gila. Mungkin ini ide buruk, tapi bagiku ini kesempatan. Aku melewati jalan setapak yang dapat memotong jalan ke arah rumah. Ingin sekali mel

Pulang ke Rumah

"Apa mungkin ada hantu di siang terik seperti ini?" kepalaku mendadak pusing. Panas matahari menyempurnakan lelahku pada puncaknya. Perut yang tidak terisi sejak kemarin sore dan mungkin saja tadi aku berhalusinasi tentang seorang tua yang misterius. Kuputuskan untuk pulang ke rumah dan beristirahat. Cukup sudah kukumpulkan lelah seharian ini. Saatnya pulang. Ya Tuhan. Aku baru ingat kalau tidak membawa kendaraan saat keluar dari rumah. Tenggelam dalam lautan sedih membuat pikiran memutuskan segala sesuatunya dengan keliru. "Pak Edi, saya mohon maaf karena terlambat mengetahui kabar duka yang menimpa putri anda." seorang tua yang berjalan keluar dari arah pemakaman menyapaku. "Perkenalkan, saya Juna. Anda sepertinya sedang kebingungan, apa ada yang bisa saya bantu?" orang tua ini begitu ramah. "Senang mengenal anda, Pak Juna." aku menjabat tangannya. "Tempat tinggalku tidak jauh dari sini, jika anda berkenan, singgahlah

Abaikan Teleponnya

Aku tidak menghiraukan dering telpon di ruang tengah. Jika itu Resti, aku pun belum siap menyampaikan kabar duka itu pada istriku. Untuk sementara waktu, biarlah Resti menikmati hadiahnya. Setidaknya itu dapat memberiku waktu. Lima belas jam telah berlalu, sejak kejadian yang menimpa Eve. Aku melangkah ke luar rumah untuk mencari udara segar. Meski sebenarnya mata mengantuk dan tubuhku sangat lelah, aku tidak ingin berada di dalam rumah saat ini.  "Selamat siang, Pak Edi!" sapa suara dari arah samping kiriku. Aku menoleh, mengerutkan dahi menatap laki-laki tua dengan tongkat kayu di tangan kanannya. Jujur, aku tidak mengenalnya.  "Selamat siang, maaf... Apakah anda salah satu warga di daerah sini?" ingatanku payah, aku memang jarang sekali bergaul dengan para tetangga. Walau demikian, mereka mengenalku dengan baik. Mungkin itu berkat pekerjaan yang kugeluti.  "Anggaplah seperti itu." jawab laki-laki tua itu dengan senyum misterius. A

Angkat Telponnya

"Halo...?" suaraku terdengar serak. Hampir lima belas jam aku tidak menyentuh makanan dan minuman sejak kecelakaan yang merenggut nyawa Eve.  " Halo Pak Edi. Maaf kami baru mendengar berita duka itu. Kami turut berduka cita ." suara dari seberang sana ternyata bukan Rasti. Syukurlah, aku pasti kebingungan menjawab pertanyaannya tentang Eve untuk sementara ini.  "Terimakasih, maaf ini dengan siapa?" di sela-sela kesedihan tentu saja aku harus bersikap ramah.  " Saya Pak Juna, tinggal tidak jauh dari pemakaman. Apa anda punya waktu siang ini ?" jelasnya yang ternyata selama ini luput dari perhatianku. Aku baru mengetahui jika ada satu keluarga yang tinggal tidak jauh dari pemakaman. "Oh.. Pak Juna, maaf... saya tidak mengenali suara anda. Siang ini? Mohon maaf, saya ..." kata-kataku terputus. Tentu saja aku malas untuk keluar rumah dengan suasana seperti ini. Tadinya ingin kutolak tawarannya untuk bertemu. Namun suara

Bola Takdir Eve

Rambut merah dengan dua kuncir itu bergoyang-goyang mengikuti ayunan kaki. Seorang gadis kecil sedang berlari mengejar bola. Tawanya sesekali melengking, memoles sore di lapangan berumput dengan riang. "Eve... Jangan ke sana! Awas Eve..., Eve...!!" Kalian tahu? Seluruh sendi tubuhku seakan lolos dari tempatnya. Tubuh Eve tidak lagi melayang di atas kaki kecilnya yang tadi berlari riang dan sesekali melompat-lompat menuruni gundukan lapangan rumput. Eve justru melayang lebih tinggi--bagai bulu-bulu angsa ditiup angin--setelah truk yang menggandeng kotak-kotak besar di belakangnya menghantam tubuh kecil itu. "Sial... Tidak... Tidaaakkk...!!" umpat laki-laki di belakang kemudi. Dia berteriak dan tersentak sadar dengan kondisi di depannya. Sekuat tenaga supir truk menginjak rem lebih dalam, berharap bisa berhenti tepat pada waktunya. Mengetahui kekuatan truk ukuran besar itu tidak akan mampu berhenti sesuai yang diinginkan, secepat mungkin supir tru

Hariku Dibaluri Hitam Pekat

Harus kuapakan mayat ini? Aku tidak tau harus melakukan apa. Melaporkan pada yang berwenang--ke pihak polisi--aku terlalu takut. Memberitahukan ke orang tuanya, ahh... Tidak! Aku khawatir bakal dituduh sebagai pembunuh. Hariku seketika dibaluri warna hitam pekat. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba aku menemukan mayat yang tergeletak begitu saja di rumah. Lihatlah! Saking takutannya, otakku tidak mampu dipakai untuk mengingat asal mula kejadian ini. Aku tidak begitu yakin mengenal gadis ini. Apa dia adalah anak dari salah satu tetangga yang tinggal tidak begitu jauh dari kontrakanku, atau anak kampung sebelah yang mungkin satu-dua kali pernah kujumpai di jalan menuju pasar pagi. "Kak, bagaimana ini?" tanya adikku gusar. "Apa?" aku melongo mendapatkan kembali seperempat kesadaran yang sekian menit hilang. "Jangan lapor polisi, kak! Aku takut. Kita pasti dituduh sebagai pelakunya." rengek adik seraya meringkuk di sudut ruang tamu yang mera

Aku Marah

Aku bisa lari berkilo-kilo meter, tanpa perlu memperhatikan keadaan di sekeliling. Cukup menatap ke depan dan sesekali melihat ayunan langkah-langkah kaki yang menapak mantap. Tidak, sebenarnya aku tidak sedang ingin berolahraga. Semua ini karena satu rasa yang berkecamuk di dada. Berlembar-lembar kertas mampu kubaca. Anehnya mata ini tidak mengenal lelah. Usai satu buku, kuputuskan untuk mengambil buku lainnya, kembali menatap berbaris-baris kalimat. Menjelajah bab per bab hingga tandas, selesai. Tidak, aku sedang tidak keranjingan atau kerasukan sehingga berubah menjadi sosok kutu buku. Aku hanya sedang melampiaskan rasa yang menyesakkan rongga dada. Jika tadi aku mampu lari berkilo-kilo meter. Lantas mampu membaca buku sebanyak-banyaknya. Mestinya aku merasa lelah, bukan? Tapi sekali lagi tidak. Bahkan rasa lapar tidak juga kunjung datang-tidak kurasakan. Padahal sudah masuk waktunya untuk makan siang. Bosan membunuh waktu, kembali kuambil posisi terlentang. Men

Hanya Ingin Pulang

Drawing Pencil  Tubuh kedua laki-laki itu melayang setelah dihantam dengan keras oleh sebuah mobil. Satunya membentur pembatas jalan, sedangkan yang lain tertindih sepeda motornya sendiri. Jarak keduanya tidak begitu jauh. Cukup dekat, hanya dengan membentangkan kedua tangan. Hal ini membuat pria di balik kemudi mobil memiliki kesempatan untuk bersenang-senang.  Ban mobil astrada berdecit menahan roda yang dipaksa berhenti berputar. Tangan kiri pria yang menyupir mobil sigap memindahkan posisi tuas, mundur. Keempat roda besar itu melindas tubuh-tubuh terkapar yang belum sempat bergerak untuk sekedar menepi.  "Aarrgghhh... " jerit keduanya menahan remuk di beberapa bagian tubuh.  Tawa-tawa membahana dari dalam mobil. Puas melihat buruannya tak berdaya.  "Jack ..., selesaikan!" "Saya sendirian, bang?"  "Cepaaatt...!" teriak pria berkacamata hitam dengan suara sedikit serak.  Laki-laki bernama Jack segera turun dar

Yang Kosong #5

-Disinilah, Aku- Google  Maka disinilah Yalsa menjalankan hukuman. Rasa ingin tahunya yang besar dan keberaniannya menegur hingga membuat si pasien mengamuk dan seketika pingsan membuat nyonya besar tertarik. Hukuman yang entah sampai kapan dijalankan Yalsa adalah merawat Tuan Winarta hingga sembuh. Dokter Muda yang dari awal merawat Tuan Winarta hanya sesekali datang memeriksa pasien sesuai jadwal yang ditentukan. Semakin lengkaplah penderitaan yang Yalsa rasakan. Ia tidak senang meski dompetnya dijamin lebih tebal dua kali lipat. "Dokter...!" panggil Yalsa setengah merengek. "Aku yakin kamu mampu, Yalsa. Percayalah!" dokter Muda memberi semangat pada perawat andalannya itu. "Hubungi aku, jika kamu perlu sesuatu, ok!" pintanya sebelum menutup pintu mobil. Yalsa pasrah, kakinya masih betah berdiri lama sembari memandang mobil yang dikendarai dokter Muda hingga hilang di balik gerbang dan pagar yang tinggi. Benar, semakin b

Yang Kosong #4

Hardi bersungut-sungut setelah mengantarkan Tuannya kembali ke rumah. Nyonya besar marah-marah sebab Hardi bukannya menjaga Tuan, tapi justru malah mempercepat kematian suaminya. “Saya hanya menjalankan perintah, disuruh beli minuman, ya saya beli, Nyonya.” jawab Hardi polos. “Diam kamu, dasar supir!” hardik nyonya besar pada supir satu-satunya yang paling setia. Kata-kata terakhir itu bagai anak panah yang tepat menembus hati sekaligus merusak jantung Hardi. Sakitnya bukan main. Terhitung sudah tujuh tahun Hardi bekerja dengannya. Tapi kelakuan dan tingkahnya tidak bisa dipercaya untuk urusan menjaga suaminya. Alih-alih melaporkan semua tindak-tanduk sang suami, supirnya itu justru lebih manut pada Tuan Besar.  Dasar laki-laki , batin nyonya tergores sudah. Sejak bekerja dengan Tuan Winarta. Hardi memang menjadi orang kepercayaan Tuan untuk urusan senang-senang. Apapun yang diperintahkan tuannya pasti dituruti karena sang tuan yang menggajinya. Sesederhana itula

Yang Kosong #3

Sampai Kapan? "Kamu gila, ya!?" tanya dokter Muda pada Yalsa dengan nada geram.  Ia tidak habis pikir dengan perawat yang satu ini. Di bilang bodoh tapi dia termasuk perawat dengan prestasi akademik terbaik. Tapi dibilang pintar juga ia sanksi setelah mendengar kejadian tadi malam.  "Saya sudah melaporkan hal ini sebelumnya ke dokter. Tapi dokter tidak percaya dan meminta saya menemukan bukti jika laki-laki pemabuk itu memang berulah dengan kebiasaan buruknya di ruang perawatan." jawab Yalsa membela diri.  "Uughh...," kali ini dokter Muda semakin geram dengan alasan sekaligus pembelaan diri Yalsa.  Jauh di lubuk hatinya, justru ia menyesal tidak mendengarkan laporan perawatnya itu. Kecurigaan demi kecurigaan Yalsa lebih di pandang tidak beralasan sebab ia hanya seorang perawat yang berlagak seperti detektif.  "Dokter!" panggil Yalsa membuyarkan lamunan dokter Muda.  "Ya" jawab dokter tampan itu sembari me

Kursi-mu, Tuan.

Pujangga-webtoon Aku ingin jarak ini hanya sepersekian detik mata Nabi Sulaiman hadirkan kursi kebesarannya. Bukan! Itu bukan sihir purba yang dicuri dan dipelajari kaum Knight Templar dari ruang bawah tanah Al Aqsa. Aku mulai mabuk, Tuan. Merindukanmu dalam lompatan-lompatan musim yang tidak menentu. Semoga ini bukan fitnah akhir zaman yang mengerikan. Walau sungguh, rindu ini nyata, persis demikian menyakitkan. Kursi-kursi kini mulai membisu, temani romantisme secangkir kopi hitam yang kusesap perlahan. Tadi deriknya pilu wakili setengah hati yang sakit. Duduklah, Tuan. Pada kursi dihadapanku! Ingin kuhidangkan santapan merdunya kata-katamu yang bagai doktrin menjejal isi kepalaku, hingga jarak kueja rindu. Pada kursi jati kuhadirkan bayangmu yang menggenggam buku. Kesekian kalinya aku pandang, Tuan hanya diam. Jubahmu menjuntai tebarkan hawa dingin, padahal matahari diluar sana sudah meninggi. Baiklah, mungkin kali ini aku masih harus bersabar, kembali merap

Yang Kosong #2.

DeviantArt Yalsa mengenal bau ini. Sesaat setelah melewati seseorang yang duduk mematung di kursi ruang tunggu. Cukup sebentar saja, tidak perlu lama-lama mengendusnya, maka ia dapat menyimpulkan ini bau alkohol. Laki-laki yang tadi ditemuinya pasti baru saja mencekik botol berlebel haram. Ada yang salah dengan otak para penikmat alkohol, pikirnya memvonis negatif semua penikmat minuman memabukkan. Dan Yalsa punya alasan untuk itu.  Satu belokan lagi, Yalsa akan sampai di kamar VIP 003. Pasien yang dirawatnya kali ini benar-benar menguji kesabaran. Bagaimana tidak, semakin benci ia dengan alkohol, maka semakin dekat ia berhubungan dengan minuman memabukkan itu.  "Hai Yals, giliran piket malam, ya? Bukannya tadi siang kamu juga masuk?" Vira, rekan perawat yang mendapat tugas piket malam ini bertanya, sedikit bingung melihat Yalsa yang masih berada di lingkungan Rumah Sakit, mengingat jadwal piket malam ini bukan gilirannya.  "Iya, han

Yang Kosong #1

“Aaaaa...aaaa…aaa…” terdengar teriakan dari kamar dekat ruang tamu.  “Tara, ada apa” tanya bu Jaya panik setengah berlari dari arah dapur. Lantai rumah sedikit berdecit karena menahan beban tubuh istri kepala kampung Karang itu. “Ada … darah, bu. Ada darah di ... dimana-mana.” Jawabku masih dengan nafas terengah-engah. Kubenamkan wajahku diantara kedua lutut setelah mundur ke sudut ranjang, sambil dengan tangan gemetar menarik selimut tebal yang ditutupkan ke seluruh tubuh, menyisakan kepala yang tetap menunduk.  Bu Jaya memeriksa keadaan di sekitar. Aku masih belum mampu bergerak, tetap dengan posisi memeluk lutut. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Keringat dingin terbit melengkapi rasa takut yang masih menyelimuti ruang tempatku meringkuk. Sebuah ruang tidur dimana bu Jaya dengan rela menyerahkannya padaku, dan untuk sementara waktu, wanita baik itu harus mengungsi ke kamar anak laki-lakinya. Bu Jaya dengan tubuh tambunnya itu masih m