Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2017

Tetaplah Bersamaku

"Sadarlah nak! Sadarlah, lihat seperti apa dia sekarang!" Ibu menunjuk-nunjuk kekasihku, wanita yang kucintai melebihi diriku sendiri. "Aku mencintainya, ibu. Sangat mencintainya!" Aku tidak mampu lagi menahan tekanan dari mereka, orang-orang di balik tubuh ibu. Wajah-wajah itu ketakutan bercampur rasa jijik sekaligus belas kasihan yang tidak dapat kupahami. ***** Siang begitu terik. Panasnya membakar kulit. Kami bergegas memasuki rumah, sekilas menatap hamparan bunga di taman yang sudah kutata sedemikian rupa sejak sebulan yang lalu. Sesuai permintaannya, tidak ada warna lain selain putih. "Sayang, apa kamu haus? Tunggu sebentar, akan kubuatkan minuman kesukaanmu!" Kutinggalkan kekasihku duduk sendiri di ruang tamu. Dia sedari tadi hanya diam, mungkin tubuhnya terlalu lelah sebab perjalanan jauh yang kami tempuh kurang lebih tiga jam yang lalu. Segelas teh aroma melati sudah siap. Kutuangkan dalam cangkir kecil. Hidungku menghirup raku

Rekam Ramadhan-ku (bag.1)

sumber: Google Jam menunjukkan pukul 15.00 wib. Lima menit lagi azan akan berkumandang. Sudah dari sepuluh menit yang lalu kurebahkan tubuh diatas lantai, terasa dingin meski cuaca di luar sana panas. Kemarau mungkin akan sedikit lebih lama kali ini, entahlah. Anak-anak sedang memanfaatkan waktu istirahat mereka di luar kelas. Ada yang memutuskan untuk mandi di asrama dan ada pula yang izin untuk mandi di rumahnya saja, berhubung jaraknya dekat dari sekolah. Silahkan! Sebab kondisi air di sekolah sedang sekarat, padahal melihat laporan BOS yang pernah kususun, pengeluaran sekolah untuk pembayaran rekening air bersih ini tidak sedikit. Angkanya cukup besar dan tentu saja tidak pernah telat membayar. Tapi kenyataannya, air tampak sangat kewalahan mengalir di sini. “Amma…!” seorang gadis manis mendatangiku. Wajahnya tertunduk lesu, walau sebelumnya ia menyapa dengan wajah manis, tetap saja tersirat kesedihan di sana. “Iya. Eh.. kakak Lala, gak mandi?” tanyaku sediki

Pengantar Tidur

"Pergi? Kemana?" "Refreshing dulu sama teman-teman." "Baiklah, hati-hati selama diperjalanan!" Kuputuskan sambungan telpon setelah mendengar dan membalas salam. Tahukah kamu, ada angin yang berputar-putar, menabrak dinding-dinding rongga dadaku. Sebentuk cemas sedang atraksi disana. Meliuk-liuk hingga sesak nafas ini. Di luar sana, hujan sedang menari-nari riang. Asik mendendangkan rintiknya bersama angin. Tidak lebat, namun tidak bisa juga disebut sebaliknya. Dingin sudah menjadi satu kesatuan desah. Alirannya beku hingga tidak mampu merangkak menuju muara lega. Muram kini sempurna merayapi tembok-tembok malam. Tuhan, maafkan aku. Seringkali menyiksa hati ini dengan firasat-firasat yang aneh. Meski sebagian besar itu benar, aku takut setan menjadikannya tunggangan terbaik untuk menggodaku. Tuhan, apapun itu, tolong jaga dia. Kututup malamku dengan doa, sebentuk permintaan yang kutujukan untuk seseorang yang padanya kusimpan sebagian jiwaku,

Titik Balik;

Menyoal Efektivitas Menulis Selama Bulan Ramadhan. Bagaimana efektivitas menulis pada Bulan Ramadhan?  Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya mengetahui terlebih dulu apa itu efektivitas. Penasaran dengan arti dan makna dari kata efektifitas, akhirnya saya memutuskan untuk mencarinya di goggle. Berikut apa yang saya temukan; Kata efektif yang kita pakai di Indonesia merupakan padanan kata dari bahasa Inggris yaitu dari kata “effective”. Arti dari kata ini yakni berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata efektifitas mempunyai beberapa pengertian yaitu, akibatnya, pengaruh dan kesan, manjur, dapat membawa hasil. Dalam kamus kamus Ilmiah Populer, efektivitas adalah ketepat gunaan, hasil guna, menunjang tujuan. Setelah mengetahui arti dari efektivitas tadi, saya kemudian dapat menjelaskan bagaimana efektivitas menulis pada Bulan Ramadhan, khususnya pada diri saya sendiri. Beraktivitas di Bulan

Tepi Dermaga

Ingat lamanya waktu kutamatkan. Menemuimu adalah keniscayaan yang mungkin tidak dapat kutukar dengan nyawa, tapi harus kuserahkan. Ikhlaskan. Ketika kutunggu, berkurang kesabaranku. Lemah tenagaku dan menua rautku. Hampir seringkali gelombang air laut menyentuh kaki, basah dan dingin. Menikam. Tentang bagaimana laut yang paham akan asin pada birunya, akupun serupa, paham akan rasa yang membiru dalam detak hidup yang digariskan, menunggu. Ibarat meteran yang dapat mengukur panjang, aku selalu dapat mengukur pengembaraan fantasiku, tentangmu. Adalah hati, leluasa menggenggam tangkai hujan, basah. Rindu masih bertiup, menyemai kabut di jurang-jurang angan. Dalam dan gelap. Rasanya, hanya suaramu saja jarak pemisah menggulung ketiadaan. Diawali tekak yang kering, kamu mulai nyanyikan tembang pengantar malam. Pastinya, semakin kutunggu, berkurang kesabaranku. Lemah tenagaku dan menua rautku. Enggan dermaga hati menyimpan luka. Menanti perahu berlayar ke samudera hakikat-Ny