Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2017

Kemponan

Tertinggal. Rombongan lebih dulu pergi. Mengejar Mentari pagi muncul sapa bumi. Puncak bukit Tanjung janji manjakan mata. Disulap dalam aquarium laut yang melangit, bersatu tanpa batas. Biru. Masih dua puluh lima menit lagi, jalan menanjak memaksa pijakan kaki lebih erat mencengkeram batu bercampur tanah licin, sisa hujan semalam ciptakan semaraknya. Dedaunan menyimpan bulir-bulir embun. Basah. Pada semak kuharapkan kekuatan bertahan. Berpegang. Udara bukit sejuk bertabur nafas kehidupan pepohonan rindang. Tapi tidak untukku yang gerah bermandikan keringat pembakaran. Gesekan daun cipta simfoni alami, Indah. Namun deru darahku menabuh jantung berdetak lebih. Lelah. Astaga! Pada bulir embun kupandang bagai titik-titik air di dinding gelas. Bongkahan es berdenting riang memanggil dahaga, bertepuk sesamanya, meremas otak, hingga memompa kaki menapak cepat kalahkan beban tubuh. Jatuh. Rangkong Gading berteriak gaduh, terganggu lantas melintas diatas tubuh kaku, pagutnya mengingat

Asramaku Syurgaku

Edisi - Harum Mewangi. "Amma datang ... Amma datang!!" teriakan anak-anak menyambutku, sepintas kemudian riuh suara kaki-kaki berlarian. Geli rasanya perut menahan tawa. Hari ini sudah kuberitahukan pada mereka bahwa ada obat ampuh untuk mengatasi masalah yang merata dialami anak asrama, walau tidak semua.  "Hohoho.. Ayo kumpul, hitungan ke sepuluh kalau tidak kumpul, amma akan.. Ulangi lagi hitungannya!" ancamku setengah bercanda. Hahaha..., apa-apaan sih. Batinku dalam hati. "baiklah, kalau kalian tidak kesini, maka amma yang akan kesana!" Mudah saja menemukan mereka. Ada dua puluh tiga anak dalam asrama. Dengan tujuh kamar yang luas, empat kamar mandi, pelataran mencuci, ruang jemur pakaian, satu gudang, garasi, dapur, ruang belajar, ruang sholat dan taman. Tiga botol jamu yang baru kuambil dari bude pembuat jamu masih terasa hangat. Kuletakkan dua botol diatas meja dapur, mengambil gelas kecil dan mulai berkeliling. Saatnya beraksi! 

Edafon

Perihal sajak, harusnya berhak atas apa saja yang ingin disampaikan, berhak atas semua bayang yang mengejar dan pasrah tergelatak di celah-celah misterius tangan Tuhan, ingin kusematkan bahwa kehidupan ini hanya sekejap mata atau sedikit lebih lama dengan menganggukkan kepala. Aku mencintaimu, yaa … mencintaimu, sungguh mencintaimu, maka kulakukan ini, membuat gembur tubuhmu, membaliknya, mengaduknya dan kembali kuinjak agar engkau siap menampung benih yang nanti akan mengisi kantung-kantung nyawa anak manusia.  Tapak-tapak kakiku merangkai kata, menggubah sajak edafon .  Tersenyumlah! Akan ada kehidupan. Kita tahu itu, sejak nenek moyang menggerakkan jari-jarinya, sejak itulah kita bersua. Kamu pun demikian, mencintaiku, sangat mencintaiku, tak ingin memberatkan langkahku, hingga bagaimana caranya kau mudahkan semua, agar segera padi-padi bertumbuh, panen dan kembali kita bertemu.  Helai-helai ilalang, rumput dan dedaunan liar bertumbuh, sejenak kunikmati kare

Kotak Kebahagiaan

“Sangat Menarik.” novel yang mulai kubaca sejak dua hari yang lalu itu kututup, lalu meletakkannya di atas meja kerja.  Masih bersandar di kursi yang setia menjadi tempat paling santai dan nyaman selama membaca, kuingat kembali kisah menemukan tanah harapan, menentukan sendiri dongeng yang sudah ditandai oleh sang penindai dan tentu saja kisah cinta mengharu biru, keseluruhan ceritanya telah menyentak-nyentak hati. Ahh … atau, bisa jadi aku yang terlalu sensitif akhir-akhir ini. Dongeng-dongeng yang bagus dan menyenangkan pastinya membuat siapa saja yang mendengarkan memiliki harapan baik dalam kehidupannya, walau kadang beberapa terdengar tidak masuk akal.  "Harapan, yaa... Harapan." kuhembuskan nafas berat ke udara. Mengingat kisah yang pernah dibagi seorang ibu tua seminggu yang lalu.  ***** "Kenapa ibu duduk disini sendirian?" "Ibu ingin menyelesaikan rajutan ini." jawabnya sambil mengangkat kain wol yang dibentuknya memanj

Tanpa Dasar Cinta (2)

Aku hanya perlu membawa diri, tepatnya pandai-pandai membawa diri. Menuruti apa yang dikatakan orangtua suamiku karena mereka adalah orangtuaku sekarang. Ya Tuhan, kuatkan aku. Mobil mewah yang menjemputku terparkir rapi di halaman rumah. Aku selesai merapikan tas koper yang berisi sebagian pakaianku. Terus terang aku masih enggan untuk pindah ke rumah mertua, sebagian isi lemariku masih tertata rapi di kamar, berharap aku akan kembali tinggal disini lebih lama lagi. "Haura, kamu sudah siap?" Ibu memastikan barang-barangku sudah siap. "Sudah Bu." jawabku singkat tanpa basa-basi. Supir yang sedari tadi menunggu di ruang tamu segera membawa dua tas koper sekaligus. Ayah membantu membawakan kotak berisi buku-buku pelajaran. Aku mengikuti langkah ayah dari belakang sambil tertunduk lesu. "Wajahmu, Haura!" tegur ayah saat berbalik dan menemukanku dengan wajah sendu. "Kenapa?" "Jangan cemberut begitu, nan

Tanpa Dasar Cinta

Berkali-kali kulayangkan tinjuku, menampar dan meremas wajah beku yang hanya bisa diam dan pasrah saja diperlakukan demikian. Layaknya samsak pada ring latihan. Kutumpahkan semua kesal dan amarah padanya, hingga terbit bulir-bulir keringat di dahi dan leher. Sungguh puas walau akhirnya lelah. "Aku benci kamu, benci sekali." kulemparkan kalimat berhawa panas itu ke langit-langit kamar sembari menghempas tubuh di kasur, "kalau saja pembahasan itu tidak pernah ada dan tidak pernah ada." Sebelum menutup mata, sekali lagi kuraih bantal yang kubuat khusus berbentuk manusia berkepala kotak tadi, mengunci dan menindihnya dengan amarah. Tentu saja bantal yang kujadikan samsak itu kulengkapi juga dengan foto wajahnya. ***** "Tapi bu, aku kan masih mau melanjutkan sekolah, masih mau kuliah. Gimana nanti kata teman-teman kalau tahu aku nikah muda, gak mau. Aku gak mau, titik!" "Siapa bilang kamu tidak bisa sekolah lagi setelah menikah. Ka

Kaptenku

Saat Kapten tidak berlayar, apa yang dilakukan di rumah? Berdiam diri menikmati masa libur dengan tidur atau nonton televisi? Bisa jadi, tapi presentasinya kecil sekali. Kapten, demikian saya memanggil dan menulis namanya di phonebook. Pria dengan tubuh tegap tanpa perut buncit di usianya. Karena biasanya saya menemukan pada kebanyakan pria yang memiliki perut buncit di usia dewasa dan di usia senja. Pernah sekali waktu saya bercanda dengan Kapten. " Capt , ini perutnya dulu sixpack , kan? Kok sekarang sudah jadi onepack ?" Berhubung di usia yang tidak lagi muda, perutnya tidak lagi menyimpan bidang-bidang indah. Onepack tanpa buncit itu sudah menjadi prestasi dalam menjaga kesehatan. Apa Kapten melakukan fitness secara rutin atau olahraga tertentu seperti push-up, sit-up dan back-up ? Tidak, bahkan Kapten hampir tidak pernah olahraga. Jadi bagaimana bisa tidak ada lemak yang mengumpul di perutnya? Sedikit bocoran, bahwa Kapten tidak pernah diam. Maksudnya adalah,

Bertemu

Aku bertemu denganmu, Tuan.  Dalam sajak-sajak yang kutulis.  Aku bertemu denganmu, Tuan. Dalam lingkar malam yang sama gelapnya. Aku lupa, apakah puisi ini pernah kutulis atau mungkin pernah kubaca. Tapi yang pasti aku sangat suka membacanya berulang-ulang. Kamu benar, aku memang tidak akan pernah berhenti menulis puisi, walau aku sendiri tidak pandai membaca puisi dengan suara lantang. Mestinya tidak seperti itu, bukan? Dan sore ini kamu datang lagi, masih dengan wajah sendu menatap laut. Berdiri mematung sendiri hingga berjam-jam kemudian, sampai Surya benar-benar tumbang. Ada banyak hal unik yang kuperhatikan di setiap kedatanganmu. Pada tanggal yang sama, waktu yang sama dan dengan durasi yang sama pula. Lalu satu hal yang tak mungkin aku lupakan adalah apa yang selalu kamu pegang setiap kali datang ke pantai ini. Sendal jepit. Ya, sendal jepit yang tampak lusuh. Tahun ketiga aku melihatmu, merasa aneh dengan ritual yang selalu kamu lakukan setiap tahunnya. Tanpa ragu

KESAYANGAN

Ribut banget nih orang. Tapi seru juga.  Ini tanggapan pertama saat setahun yang lalu bergabung di komunitas ODOP 2. Seperti biasa, saya memilih posisi silent reader. Bukan apa-apa, menyimak itu lebih menyenangkan, dan menerima lingkungan baru, bagi saya sangat membutuhkan waktu lebih lama daripada teman-teman yang lainnya. Ya ampun, nih orang nggak bisa habis apa tenaganya? Pakai baterai apa sih?  Ungkapan ini untuk siapa lagi kalau bukan tokoh yang seminggu ini sedang hangat dibicarakan. Yap, Dewie Dean. Yang kemudian akan saya sebut Awie sebab demikian lidah terbiasa menyebutnya. Kembali ke-betapa herannya saya dengan gadis yang sudah memijakkan kakinya di beberapa Negara tetangga ini. Bagaimana bisa matanya on terus jika dilihat dari aktifitas chatnya di grup yang seperti air tumpah (maaf ini agak hiperbola) Dan tepat pada tanggal setelah hari kemerdekaan negara tercinta, yaitu 18 Agustus 2016 pukul 16.34 bagian rumah saya, gadis kelinci energizer ini memanggil lewa