Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2016

Luruh

Aku luruh ke bumi bersama angin. Bukan, bukan angin satu-satunya yang mampu melakukan itu. waktu pun mengambil peran, aku jatuh bersama mereka. Alami. Aku luruh ke bumi mencium tanah kering, terkadang basah. Bukan, bukan matahari satu-satunya yang mampu membakar diamku, hujan juga berperan, aku rapuh, jatuh bersama mereka. Alami. Aku tidak membenci angin yang bertiup. Aku tidak membenci waktu yang menua. Aku tidak membenci matahari yang hangat sekalipun panas membakar. Aku tidak membenci hujan yang basahnya menggigit dingin tulang-tulang hijau tubuh. Aku luruh ke bumi bersama angin, matahari, hujan dan digenapi waktu. Aku tidak benci. Aku luruh bersama marah dan sedih jadi satu, tersangkut pada ranting-ranting, kadang meranggas di sela-sela ilalang hingga hitam. Aku teriak mereka tidak mendengar. Aku terisak dan terguncang tapi mereka tidak paham. Aku tidak berdaya, mereka malah bahagia sambil pesta. Aku luruh menjauh dari kekasihku, ter

Pahit Manis

Secangkir kopi kita genggam. Aromanya merebak penuhi udara dalam ruang bagai Dao , tidak berbentuk, tidak pula terlihat, menjadi proses adanya wujud yang disebut De . Bercampur-aduk keduanya kental sensasikan ketenangan, lembut dan pada kenyataannya abadi dalam ingatan, setia mengantar kita ke nirvana  sebentuk rasa dari ujung hingga pangkal lembar di padang papila .¹) Pada pekat hitamnya, jelas-jelas mengaduk kehidupan kita dalam dua puluh empat jam yang terus berulang, tanpa sadar memaksa kita kembali melipat kening berkerut-kerut. Menatap lembaran hidup. Kita sesap perlahan hangatnya yang berangsur dingin sambil menggiring waktu, merayap mantap lewati terowongan jiwa. Kamu dan aku, mungkin juga dia, yang kita sepakati sebagai sejarah. Suara denting pada alas cangkir kopi yang kamu letakkan mengalihkan perhatianku akan terangnya siang di rongga langit-langit malam. Mata-mata kita terjaga, masing-masing hanyut dengan masa lalu pada punggung yang mulai rapuh. Aroma kopi

PANASEA

gbr: Lisza21.Wordpress.com Kau benar-benar membuatku mabuk. Antara sadar dan tidak aku mengikuti jejak-jejak samar. Mencarimu. Firasatku, sebentar lagi akan sampai. Di depan sana, ada jurang dengan selimut kabut tebal. Katanya jurang itu tidak berdasar. Jika jatuh, maka jatuhlah dalam damai. Disana, aku memilih dan mencari posisi di tepi bibirnya, memungut puing-puing nafas. Pada hidup, ada lelah, lesu luar biasa, bahkan putus asa. Kususun menumpuk hingga tercipta satu kastil megah. Kutatap langit lekat-lekat. Mencari kamu yang beribu detik aku rindu. Pintu langit kuketuk. Tak ada jawaban, seketika kabut menjadi gelap, angin kencang, diatas sana raksasa mengambang, hitam, diiringi kilatan api dan gelegar batuknya yang garang. Hujan datang, tombak-tombak runcingnya kusesap menjadi tangis tak terlihat. Lalu kupinjam selendang kilat, mencambuknya sekali ayun hingga runtuh kastil megah yang kusebut lara. Benarlah kata orang, hadirmu dapat menghapus jejak keresahan, ke

Perahu

Ku sampirkan mangata untukmu. Berharap mudahnya kamu amati lekuk arah. Jangan tersesat lagi, sayang! Tersesat itu menyesakkan, bukan? Pesan kutitip lewat dersik . Tapi, kenapa lama sekali hadirmu, sayang? Bahkan siluetmu tak kunjung mengisi absensi rasi bintang di beranda malam. Halai-bilai hatiku menunggumu pulang. Kamu kemana, sayang? Sepai sudah rinduku. Berantakan, bertaburan dengan isi perut yang keluar bersama darah semerah hati melukis luka. Luka rindu. Birai-birai tubuhku menggigil dikecup angin. Kamu tidak cemburu, sayang? Cepatlah pulang. Langit seakan berlayar miring. Aku jadi khawatir kau tenggelam. Raksasa kini muntah. Apa badai merantaimu? Oh, tidak. Jarum-jarum elegi kini mencipta karat-karat ditubuhku. Cepatlah pulang, sayang!  --------------- Ok, ini jangan buru-buru ditanggapi, ya! Saya baru beberapa hari belajar membuat prosa liris. Sekali lagi, baru belajar, jadi harap maklum, yaa. Menurut seorang teman, prosa liris yang saya pelajari i

Sendirian

Goggle        Masa hidupku sudah habis. Selama ini, aku hanya menjalankan hari-hariku dalam kesendirian.        Memandang kehidupan dari atas sini tampak begitu menyenangkan. Angin membelai tubuhku, dinginnya terasa menusuk tulang.        Dari ketinggian banyak sekali yang dapat diamati. Ibu-ibu yang pergi dan pulang ke rumah dengan keranjang belanjaan yang penuh, para lelaki yang meninggalkan rumah di pagi hari dan kembali kala senja mulai lengser, langit menjingga. Lalu, anak-anak yang berlarian riang sepulang sekolah.        Aku menikmati kesendirian ini dengan suka cita, hingga sampai pada waktu aku tergeletak tak berdaya di atas tanah dingin, kotor dan basah.  Sendiri itu sungguh tidak menyenangkan. Aku meminta kesempatan, ingin menemuinya. Pria di balik jendela itu. -------        "Ga .., Saga, bangunlah! Hari sudah siang."        "Emm ... siapa?"        "Ini aku, ah ...  sudahlah, percuma rasanya bicara sama orang yang nyawanya belum n

Cinta si Embun Pagi

Ratapmu kabarkan permintaan hati yang teraniaya sunyi. Kita tahu jika kehilangan adalah hak-Nya yang diletakkan di kaki kokoh nan Maha Perkasa. Ia berkehendak, kita terlibat dan mau tidak mau menerima bulat-bulat untuk nikmati hikmat yang sepat-sepat sedap. Kamu pernah kehilangan, sedangkan aku terlalu sering hilang, efemoral . Aku adalah hasil ayut -nya malam yang tenang dengan suhu dingin. Lahir pada pagi hari mendahului surya. Lantas hilang saat sinar kuningnya menganga. Aneh, pada setiap renkarnasi, aku selalu terlahir disini. Duduk mengamatimu dari jauh lewat bingkai jendela ruang sendu. Tapi aku suka, hingga bagai dendam, kusimpan cinta dalam diam. Lihatlah! embun-embun pagi yang lahir di dedaunan hijau menempel, bergoyang, berkilau bak mutiara saat sinar matahari membelah cakrawala, menyapa lembar kehidupan baru. Aku ingin menghiburmu. Embun itu tampak indah, kan? Maaf, sebenarnya aku kurang setuju. Embun memang indah, tapi akan lebih indah jik

Petuah Lautan

Google Kamu ingat? Kita pernah bersama waktu memulai perjalanan seribu langkah dari satu langkah kecil. Mencium bibir pantai, membelainya, lantas diam-diam mengambil sekerat senyum daratan kembali menuju lautan. Kerinduan ini jelas terlihat. Aku tidak pernah ingin hidup lagi, di tempat dimana kamu tidak ada di dalamnya. Tuhan pun tidak juga memanggilku. Mungkin Dia marah, seperti aku yang marah pada Dia. Saatnya menjauh dari jurang kehilangan, mencari jalan. Sauh kuangkat, nekad. Pengembaraanku jelas. Aku akan pulang, menemuimu. Ada petuah yang kita simpan tentang lautan. Bagaimana mengusiknya adalah pantang larang. Kutabur remah-remah kulit telur ke lautan. Hamparan sutra biru tua terlihat berkilau didebui sinar rembulan. Langit malam ini indah, diiringi suara riak air laut dipermainkan angin. Terdengar seperti rayuan memanggil hujan jadi badai. Petuah kupantang, maaf, tapi ini caraku pulang. Riak air laut menggarang, berubah gelombang. "Datanglah hujan, badai,

Mengeja Rasa

     "Aku mulai lelah," lirihmu kala itu.      Cinta yang kaubaringkan di pintu waktu mulai membeku. Dingin, sepi, nyeri dan misteri jadi satu serupa altar persembahan menawarkan korban.      Mungkinkah kasih ini kian lama menguap, hingga habis dihembus angin? Lembar lidahku tak lagi menyimpan remah aksara. Kelu. Pilu menyetubuhi awan dan langit, menjamah ruhku.      Padang rinduku seketika buram, menggamit dinding bola mata hingga menggenang uap bening, sesaat lalu jatuh mencipta gerimis.      "Mari, kita coba kembali mengeja rasa di hati masing-masing, baiknya berhenti sejenak!" ajakmu memaksa segelas racun terjun, membakar lambung kalbu.      Berhari-hari tekak ini termenung, memandang sinis aliran sungai di lembah rindu yang arusnya landai menggiring ke samudra cinta.      Penyakitan. Aku menjadi dinding lusuh diterjang ombak lautan. Mati rasa dan hampir saja rasaku mati.       Aishh ..!      Sampai kapan kaumendebuiku, mencipta pucat pada le

Hujan dan Gelandangan

             Kata-kata telentang. Sepasang matamu sendu menatap awan yang kepayahan mengandung hujan. Sebentar lagi, ya, sebentar lagi awan akan melahirkan.       Kan? Uap air serupa anak-anak kecil terjun susul menyusul, riang diiringi selendang api menari-nari.      Petrikor seketika gentayangan. Merasuki indera pembau menyesakkan rongga dada.      Pemuda dekil lusuh pemilik mata sendu tersenyum senang. Ketampanannya tertutup rambut liar yang tumbuh dengan bebas. Tubuhnya basah. Hatinya basah.      Aku sudah datang. Kamu senang? Saatnya mengisi perut yang sedari tadi diamuk demonstran. Tapi maaf, yang ada hanya ini: air hujan.      Dingin menggerayangi tubuhmu, kala kumuntahkan ingatan pada lembar langit.      Jangan pergi! K alimat yang bagai mantra itu menahan ruhmu berpindah.      "Ah. Akan ada saatnya pergi. bahkan sebelum ini, tak kurindukan mati sebelum menemukannya." ucapmu beberapa hari yang lalu.      Minumlah kawan, sebany

L Dimana Kamu?

Hanya garam yang dapat memahami asin pada dirinya. Ketika yang lainnya tak kunjung kumengerti. L .., ini kalimat pembuka pada puisimu. Bintang senja. Kali inipun demikian, dengan aku yang mulai mampu memahami pencarianku. Beberapa prosa liris mengambil sebagian hatiku. Tidak rela rasanya hidup berjalan dengan timpang. Sama seperti dulu. Ketika tinta penamu menjeratku dalam kantong-kantong aksara. Aku mulai berenang dalam lembar-lembar sajak, menatap, menjamahnya lantas tersenyum bersama jari-jari waktu yang berlalu. Pencarianku mulai genap kini. Kunci-kunci peti imajiku terbuka hanya dengan mendengar senandungnya. L .., dia seperti kamu yang misterius di lembar lidah. Menuntunku mengenal ladang sastra lainnya tanpa sengaja. Sayangnya aku tidak mampu berterimakasih layaknya manusia pada umumnya, karena dunia kita sesungguhnya ada diantara langit dan bumi. Aku berharap dia selalu dapat mengisi tembang-tembang dalam akar puisi ini, L. Jikapun tidak, setidaknya dia telah membuka ku

Mengenangmu

-Ketakutan dan rasa tidak tenang membuatku enggan melanjutkan hidup- (Seson Lee San, 1775/02/05)        15 November. Waktu yang sekaligus menjadi proses terbukanya sebuah gerbang. Tampak samar, terlihat tubuh jalan dengan warna hitam pekatnya lewat celah pintu yang perlahan terbuka.  Tanggal bersejarah untuk pertemuan yang fatal. Aku mengenangmu.        Tujuh tahun silam aku berdiri bimbang seorang diri. Nyata, hanya sendiri. Bingung dengan doa-doa yang ingin kupanjatkan pada Pemilik Cinta. Embun pagi mencium pori-pori kulit saat kupacu laju motor hitam menembus jalan kota kembang. Kata-kata tumpah memenuhi rongga dada. Jelas saja sesaknya menyebabkan air mata jatuh tanpa daya.        Doa itu senjata. Itulah kalimat yang mampu menarik sedikit garis senyumku. Membantuku tertatih berdiri memasang posisi menarik busur rapuhku ke arah langit. Anak panahku pendek. Tapi tahukah kamu, bilah panah pendek yang disarungkan dengan laras panjang jika ditembakkan, sangat tajam dan luar

Lepaskan

Ketika rumahku terbakar habis, aku dapat melihat bulan pada malam harinya tanpa rintangan. (Biksu Zen) ----      Seekor gagak diburu oleh berpuluh gagak lainnya. Ia berusaha melarikan diri dengan terbang secepat mungkin. Usahanya masih belum tampak ketika sesekali ia melihat ke belakang, gagak-gagak yang mengejarnya malah semakin dekat.       Gagak kemudian berfikir untuk melepaskan sekerat daging yang berada di paruhnya. Saat keratan daging itu lepas dari paruh dan jatuh ke bawah, arus gagak-gagak yang mengejarnya tadi berubah. Puluhan gagak itu mengejar daging yang jatuh. Mereka terbang susul menyusul memperebutkan keratan daging. Siapa yang kuat, siapa yang cepat, siapa yang bertahan, maka dialah yang dapat.      Ruang langit seketika sunyi dan sepi, jauh dari hiruk pikuk suara puluhan gagak yang berkoak. Terasa tenang dan menyenangkan. Sang gagak melanjutkan perjalanan. Ruang langit yang damai menyambutnya. --o0o--      "Apa yang kau baca?"

Rahasia Di Ruang Imaji

    pixabay      Nada-nada mengalun indah dari petikan jari seorang Yiruma. River Flows in You, Kiss The Rain dan judul lainnya dahsyat mencipta efek berbagai rasa yang aku sendiri tidak mampu menjelaskannya. Kupejamkan mata, mencoba menyusuri semua jejak di belakangku. Sebuah pertanyaan, apa yang sudah kulakukan? Dari mana asalnya perasaan ini?      Aku mundur ke belakang. Memasuki ruang imaji dan mengambil posisi duduk teratas, di tempat yang tentu saja gelap karena aku suka berada disana. Saatnya melihat kembali masa yang sudah lewat, rekaman filmku. Mencari jejak yang mencipta rasa tidak karuan ini.      "Nihil. Tidak kutemukan jawabannya walau sudah berulang kali kuputar semua file memoriku."      "Benarkah?"      "Entahlah, ini cukup rumit."      "Sebenarnya kau sendiri yang memperumitnya."      "Benarkah begitu? Jelaskan padaku!"      "Kalimat yang sama, aku sering katakan itu sebelumnya. Kau menutup di

Kemungkinan Yang Ada

Kemungkinan itu pasti ada Dan pasti ada kemungkinan Aku ingin menyusuri langkahmu Lantas mengikutimu Jadi, Katakan ... Jika aku harus berhenti Lubang dalam hati ini terlanjur terbuka Menyerap dan menyimpan Semua kisahmu didalamnya Bahkan bayangmu bagai hantu di siang terang Aku benar-benar jatuh Terjamah dalam tatap mata sendu Jadi ... Kemungkinan itu pasti ada Ku tunggu dalam senyap dan sepinya gelap Akan aku telusuri jejakmu Lantas mengikuti kata hatiku Diam Karena rasa tak selalu harus disiarkan Pontianak, menikmati mendung

Ayah .. Aku Ingin Bercerita

     "Kau tahu? Ibu Guru selalu bilang padaku bahwa jika aku giat belajar, maka aku bisa membaca dan tentu saja nanti aku juga bisa menulis." celoteh Xena di sore hari dengan gerimis di luar sana, "tapi aku bingung, setelah aku mampu melakukan itu, bagaimana caranya aku bisa memberitahu ayah?"      " Itu mudah, teman! jika kau sudah mampu membaca dan menulis, maka tulislah ceritamu itu di kertas!"      "Begitukah? ya ... ya ... tentu saja, itu cara yang bagus. Aku akan menulis ceritaku untuk ayah." Xena berjalan perlahan menuju meja belajarnya. Meja yang saat ia berusia empat tahun, dijadikan ayah sebagai hadiah untuk mengenang hari kelahirannya. Terlalu awal sebenarnya, dan ayah punya alasan untuk itu.      " Kau mau apa dengan kertas-kertas itu?"      "Aku hanya ingin mempersiapkannya. Tidak lama lagi aku pasti bisa membaca." ucapnya yakin dengan semangat membara. --o0o--      Ibu guru membawa berbagai macam b

Candramawa Dalam Kenangan

Kelam menabur pekat beriak Terangnya tak cukup, teramat singkat Kenangan melekat kuat sepanjang hayat Beberapa rasa rusuh menghadapkan wajah masa lalu Aku tenggelam dalam candramawa Malunya tak terkira Hingga candala menyerang tubuh, meriang Berharap bumi segera menelanku hilang Tak cukup kuat hingga kugelar sujud isyarat tobat Hukum alam terus berjalan, aku jadikan saja pelajaran Layaknya kapal yang akan selalu merapat di pelabuhan Bayangan kembali seperti purnama dalam putaran Mengingatkan! (Setiap kita punya hitam diatas putih) Pontianak, dalam udara dingin.

Reuni Cinta (2)

     Kedua kakak beradik itu menghabiskan hari dengan cerita, canda dan tawa. Sama seperti tahun sebelumnya.      "Eh, kak Rei .., Rui sudah pandai mencuci, loh!" pamernya, "bantu Rui menjemur ya nanti!" pintanya pada kakak, karena tinggi tubuhnya yang masih rendah tak mampu mencapai tali jemuran.      "Oya ? Baiklah!" kakak menyetujui.      Matahari kini pada posisi tegak, panasnya tentu saja menyengat. Udara hangat dengan hembusan angin sepoi-sepoi yang melewati celah ventilasi rumah tingkat dua itu membuat Rui menguap berkali-kali. Kakak laki-lakinya sangat paham akan kebutuhan tidur siang si adik yang kini berumur delapan tahun. Apalagi setelah mencuci sekeranjang pakaian kotor yang telah didiamkan selama dua hari. Lelah sudah pasti menyelimuti adik kecilnya.      Pukul 16.00 WIB. Rui terbangun dengan perasaan kesal, seharusnya ia tidak tidur siang tadi. Dua jam akhirnya terbuang percuma, waktu yang semestinya dapat ia manfaatkan bersama ka

Reuni Cinta (1)

Pukul 10.00 WIB. Matahari masih terasa hangat, namun kantuk berat yang Rui rasakan telah membawanya ke alam mimpi sejak lima belas menit yang lalu. “ Keripik pedas  hmm  enaknyaa.. " igau Rui dari alam bawah sadarnya. Makanan itu memang sudah lama tak lagi boleh ia nikmati, sejak kejadian sakit perut yang menyebabkannya harus diopname. Dua tahun yang lalu, menjadi pengalaman penting yang akan diingat Rui selama perutnya masih bermasalah. krriingg  .. suara telpon membangunkan Rui dari mimpi indahnya. "Halo .." sapanya dengan suara yang serak, khas baru bangun dari tidur. “ Rui, hari ini ibu ada rapat, pulangnya agak sore ." jelas ibu dari seberang sana. "Iya, nggak apa-apa." jawab Rui “ Jangan lupa makan ya dan jangan keluar rumah!" sambung ibu lagi, lengkap dengan perintah yang harus dan wajib dipatuhi. "Iya, Rui mengerti." sahut gadis kecil itu sambil menganggukkan kepalanya. Percakapan itu selesai. Rui menghembusk

Aku dan Sang Hafidzoh

Awal tahun 2012      "Kak, ada Hafizhoh, usianya masih muda banget." Jemi menyambutku dengan kabar yang sangat membuatnya bahagia. Aku baru saja tiba di pelataran mesjid setelah sebelumnya bersusah payah melewati panasnya cuaca kota Pontianak.       "Hafizoh ..? orang Pontianak atau dari luar?" tanyaku menyambut antusias gadis cantik di depanku.      "Asalnya sih dari Sintang, tapi baru pulang dari Jawa Barat. Sekarang menetap di Pontianak karena ada saudaranya yang tinggal disini." jelas Jemi panjang lebar. Aku hanya mampu menganggukkan kepala, tak sabar ingin menemuinya yang sedang berada di dalam mesjid. Ini berarti kelompok kami bisa menyetorkan hafalan dengannya.      Kesan pertama sebelum kulihat wajahnya, entah apa namanya, terasa sejuk. Ah ... bisa jadi karena AC mesjid penyebabnya, pikirku. Ia duduk membelakangi pintu masuk, menghadap kiblat dan sedang muroja'ah (membaca hafalan AlQur'an tanpa melihat mushaf).       M