Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2016

Riak Kesunyian (bag.5)

Baca kisah sebelumnya disini -Pertemuan-      Tamu hotel meningkat. Acara ulang tahun kota kali ini bertepatan dengan acara Internasional, semacam pertemuan tingkat dunia. Dihadiri oleh tamu asing dan lokal yang menginap di Hotel Tuan Bagas, bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk mensukseskan acara besar tersebut.       Greg menghadiri gala dinner yang diadakan sebagai penutup acara. Pria tampan itu mengambil posisi sedikit menjauh setelah beramah tamah dengan tamu-tamu asing. Suntuk dan lelah menggerayangi tubuh dan pikirannya.       Dengan beberapa gelas whisky, maka semua itu akan segera menguap berganti gairah. Pikir Greg menemukan solusi. ***      Sini ...! ayo sini!       Tidak ... jangan, jangan.      Ohh ... aku tahu, uang ..., iya kan!       Tidak ... lepaskan aku! lepaskaan..!      Plakk ... plakk, berisik diam dan jangan jual mahal!!      ...      ...      "Tidak ... tidaaakk ... aarghh ..." teriak Sari m

Riak Kesunyian (bag.4)

Baca kisah sebelumnya disini -Ruang Gelap- Gerimis malam menyanyikan lagu sendu. Apsari tidur dalam mimpi-mimpi mencekam. "Aaargghhh.. Aaaa.. Aaaaaa." teriaknya pilu tertahan. Nafas Apsari tersengal-sengal menahan sakit di dada. Ada beban berat yang menindihnya, pun tampak ketakutan seperti dibayangi oleh berpuluh hantu di depan mata, dan lubang hitam besar yang menyedot sendi-sendi hidupnya. "Aaarrgghh.." teriaknya lagi, kali ini disertai tangis. "Sari... Sari, tenang nak, tenanglah." Ibu memeluk Apsari erat, mengusap-usap lembut punggung anaknya yang semakin kurus tak terawat. Air mata serta merta membasahi pipi. Menangisi kondisi putrinya. Sebulan lamanya Apsari menderita. Malam-malamnya selalu diwarnai dengan teriakan dan tangisan dalam igauan tak jelas. Ibu bingung, Apsari tak pernah bicara sejak sebulan yang lalu. *** "Bagaimana kabar Sari, bu?" tanya Dani khawatir. Ia hampir setiap hari berkunjung, menanyakan kondisi

Riak Kesunyian (bag.3)

Baca kisah sebeumnya disini . -Ceria- Sinar matahari yang masuk dari celah kain selimut membangunkan Greg. Butuh beberapa detik bagi pria tampan itu untuk menyadari dimana ia tidur tadi malam dan bersama siapa kali ini. Ketika kesadarannya telah purna, ia langsung bergegas merapikan diri. " Shit! I'm late "   pesan dari sekretarisnya mengingatkan ada jadwal rapat pagi ini. Greg keluar dari kamar hotel meninggalkan Canda, wanita yang menyambut kepulangannya dari Amerika dengan sangat baik. Ia masih pulas dalam tidurnya. "Greg Ethan!" teriak seorang wanita dari loby hotel. "kamu kemana sih, tadi malam? Aku mencarimu, sayang." wanita itu menghambur memeluk Greg. Ketampanannya tak mampu membuat wanita itu marah sebab ditinggal begitu saja di arena perkelahian. "Aku tidak punya waktu menunggumu menyelesaikan perkelahian." alasan Greg benar adanya. Ia juga terlanjur ilfil melihat wanita cantik di hadapannya itu atau bisa jadi, suda

Riak Kesunyian (bag.2)

"Apsari...! " "Hei, Dan... mau berangkat kerja?" "Iya, kamu mau kemana?" "Kerja, dong" "Waah.. Akhirnya, nona cantik sudah dapat pekerjaan. Selamat ya. Mau diantar sekalian?" "Thank you, Mr. Dani." "Ibu... Kami berangkat, ya." pamit Sari sembari duduk dengan manis di motor sahabat karibnya. Melambaikan tangan ke ibu yang berdiri di depan pintu rumah. "Hati-hati di jalan!" Ibu membalas lambaian tangan anak semata wayangnya. Dalam hati berdoa, agar bidadarinya itu diberi kemudahan selama bekerja. *** Apsari berjalan menuju ruang kerja Tuan Bagas. Sesekali mengambil nafas panjang untuk mengurangi gugup yang tiba-tiba menyerang. Tok.. Tok.. Tok Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Tuan Bagas dari berkas-berkas laporan yang sedang diperiksanya. "Masuk saja! " perintahnya dengan suara yang jenaka. "Selamat Pagi, Tuan Bagas. Saya Apsari.. " "Oo.. Iya iya,

Riak Kesunyian (bag.1)

Tarian Setan Gelap selimuti nadi kehidupan Terseok kuseret kaki yang demikian berat Takutku lahirkan gigil hingga ke tulang Memilih dua jalan keputus-asaan Jurang kematian atau diterkam binatang jalang Teriakan dan erangan tak jelas menggambarkan Tarian-tarian maut itu tak lagi mengenal tuan dan Tuhan Roh tersesat mulai berdatangan Walau tak diundang, mereka berseru lantang Pestakah? Pestakah? Mari meriahkan. Hangat cairan kental mengalir dari luka-luka yang menganga Mengoyak kesedihan juga pilu para malaikat tak bersayap Terkapar kuletakkan derita diatas tanah Dingin, gelap, musnah, aku terhina-dinoda Mama ..., mereka menakutkan melebihi hantu gentayangan Setan serupa manusia lebih horor jika merampas kehormatan Papa ..., mereka menjijikkan berlumur khamar berbau nanah Manusia-manusia bejat yang menindas putrimu layaknya sampah Malam mencekam, kelam Malaikat maut berputar-putar, geram Makhluk halus bertepuk tangan Anyir darah basahi jalan kematian Aku... hi

Romantisme Sunyi (3)

Perempuan Aditya Prana (bag . 2) Tas punggung berwarna gelap itu kini telah berpindah posisi. Menempel pada punggung tuannya yang lebar dan kokoh. Hatinya telah kuat untuk berpisah dari sang pujaan. Hanya satu janji yang belum ditunaikan. Menemukan belahan jiwa Ariyana yang diambil dari sisinya belasan tahun yang lalu. Aditya akan menemukannya untuk Ariyana, dan melengkapi kebahagiaan wanita yang sangat Ia cintai itu sejak lama. Perpisahan itu sungguh menyedihkan. Air mata Ariyana mengalir seperti tak ada habisnya. Ada rasa sesal yang hinggap sesaat dalam hati Aditya karena membuat wanita dihadapannya kembali menangis. Namun janji itu harus ia tunaikan, sebagai wujud cintanya pada kekasih hati. Lembut dibelainya rambut gadis kecil yang sebelumnya sempat membuat Aditya cemburu, merasa diabaikan dan tersisih. Waktu melunturkan semua penyakit hati yang menggerogoti Aditya, menerima kelahiran seorang anak dari wanita yang ia cintai, Iswari. Gadis kecil yang tumbuh dengan sangat ba

Romantisme Sunyi (2)

Perempuan Aditya Prana - bag. 1 Ariyana, wanita cantik dengan semua kelebihannya, terutama dalam hal kesabaran. Kulit putih dengan mata coklat bening menjadi maghnet kecintaan setiap pria. Termasuk Aditya, ia begitu mencintainya. Membahagiakan wanita itu adalah tujuan utama. Menghilangkan kesedihan dalam sorot matanya adalah keinginan terbesar yang dirasa belum dapat ia wujudkan. Merelakannya menikah dengan pria pilihan dari orang tua wanita itu adalah salah satu cara terbaik. Aditya ikhlas untuk melepasnya. Dengan syarat kebahagiaan akan menghapus sendu Ariyana. Maka setelah itu. Kebahagiaan Ariyana menjadi kebahagiannya. Kesedihan wanita yang ia kasihi itu pun juga menjadi kesedihan terbesarnya. Tak banyak yang dapat Aditya lakukan. Sekedar menghapus airmata dan menyediakan pundak, hanya itu. Ariyana kehilangan. Pria yang mulai Ia cintai telah meninggalkannya jauh bersama cinta yang lain. Merenggut buah hati belahan jiwanya yang masih berusia 5 tahun. Jauh di belahan bumi yang

Romantisme Sunyi (1)

Udara pagi masih terasa sangat dingin. Kupaksa kaki ini melangkah keluar rumah. Mengenakan sepatu khusus olahraga yang cukup lama tersimpan di rak sepatu, lari pagi kali ini kumulai dengan setengah hati sebab mata masih mengantuk. Jika saja tidak kupaksa berolahraga pagi ini, mungkin aku tidak akan mampu menahan panggilan setan diatas kasur untuk kembali tidur. Tak banyak kendaraan di jalan raya. Aku leluasa menyeberang dan berlari ditengah jalan. Pedagang di kedai-kedai kecil yang menjual makanan khas untuk sarapan mulai berbenah. Aroma nasi kuning, nasi uduk, bubur ayam, lontong sayur menggelitik hidungku, mengirim pesan ke otak dan kemudian sinyal lapar serta merta menguat di perut. Saatnya makan, tentu saja setelah kuselesaikan rute lari pagi yang biasanya kulalui. *** Aku mengambil posisi duduk di meja yang menghadap jalan raya. Dari tempat duduk itu, banyak hal yang dapat kulihat. Kedai yang sudah menjadi langgananku ini banyak mengalami perubahan. Mulai dari penambahan mej

Balapan

Kutepuk pelan tanda begitu sayang. Terasa empuk menyentuh kulit tangan yang jujur tidak lagi lembut. Mungkin karena terlalu lama dan sering kupakai tangan ini untuk menggenggamnya, erat. "Teman, mari kita jalan! " kupacu laju kesayanganku, kuda besi. Suaranya lembut mengaum. Kecepatan motor kuturunkan perlahan saat mendekati tikungan, hendak berbelok. Jalan Raya kali ini cukup lenggang. Jam pagi yang sibuk sudah lewat. Hampir selesai kuputari tikungan. Tiba-tiba dari samping seorang pengendara menikung tajam, mengambil jalanku. Darah seketika berdesir, hampir saja kukotori bibir ini dengan umpatan. Refleks kuhindari pengendara itu dengan sedikit gerakan. Aku terpancing, mengejarnya, tak mau kalah. Beberapa menit baru kusadari. Kami melakukan manufer yang indah. Menghindari mobil di depan yang menghalangi laju kendaran bersama. Ia ke kiri, aku ke kanan. Lantas kami bertemu lagi di depan mobil tadi. Beberapa kali kami ulangi hal yang sama, ini mengasyikkan ternyata. Jad

Dinding

Beku merayap pada dinding. Dinding yang serupa batas. Pisahkan kau dan aku dari menjadi kita. Mungkin memang belum saatnya. Untuk saling melihat, menatap dan bahkan lebih jauh menyentuh Lama... Mungkin masih lama menantimu. Sementara kujalin sahabat dengan jari-jari waktu. Aku bersabar. Tuhan pun titahkan demikian. Menunggu waktu yang niskala. Berharap batas serupa dinding itu segera lusuh menjadi cerih retak. Menunggu kamu.. Masih dalam dinding berbatas. Batas itu waktu. Dan waktu itu kan menunggu. Menunggu dinding runtuh. Bertemu kamu Pontianak, 22 Oktober 2016 (Masih betah lihat langit dari jendela perpustakaan)

Dibalik Jendela

Daun menari bersama udara senja Biru langit luntur dengan bercak putih Kosong kutatap masa sewarna jingga Mencari jejak yang tertinggal dibalik jendela Namamu mulai kurapal dalam tiap hembusan nafas Berharap sesaat kau ingat Pada lembar putih yang pernah kita debui bersama Lahirkan garis senyum yang tak terhitung jumlahnya Isakku mulai menderu dalam diam Tumit ini masih setia berdiri dibalik jendela Menatap kosong sudut langit yang jauh Peti imajiku seketika penuh Sosokmu mentafkhimkan dinding kalbu Kabutku.. Kau tak lagi dapat kugenggam Bersama langit malam Pergilah dengan tenang (Menghirup rindu di malam ke sekian)

Mencari

Dihela jari-jari waktu Aku ingin menyusuri langkahmu Lantas mengikuti jejak yang membatu Merakit kenangan bersama Pada beranda langit dengan bintang-bintang sebagai tumbuhannya Pagi lantas meretas sepi Putuskan imaji-imaji sunyi Hingga tersandung ku pada tanah lapang yang gersang Aku bungkam sedangkan Kau hilang Langkah ini tentu saja terhenti Meski dawaiku masih ingin bernyanyi Angin telah menghujat cintaku pergi Rinduku mati. #OneDayOnePost #Puisi-NaFaza

Kamu

Jejakmu mulai menghilang Ditelan hujan dengan petrikornya Jika pikirmu, kau telah tergantikan Mungkin saja... Barangkali oleh malam yang semakin tua, dengan lakuna tercipta Pada sela jari-jari waktu Bisuku memeluk lutut Aksara telah lama berselimut Masa kala itu berkelindan pelan Bahkan terlalu lamban Aku harus pergi sekarang Meniti rongga-rongga langit malam Lantas menyalami bintang Menari dalam derasnya rinai hujan, yang telah kau ciptakan Lelah sudah kudebui gelapnya langit Sedang bahagia tak lagi dapat dijamah Hampir dapat kulengserkan duka di bibir jurang rasa Ah ... Andai bisa Pergilah segera Bersama rintik hujan dalam dinginnya. #OneDayOnePost #Puisi-Na