Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Mengukir Epitaf

Januari 1492 Iringan Raja Abu Muhammad menaiki kapal dan berlayar menuju Afrika Utara, menyeberangi selat Giblatar bersama rombongan prajurit yang mengawalnya. Wajahnya lelah dengan guratan kecewa, tekanan kekuatan gabungan dari kerajaan Castile dan Aragon berhasil menumbangkan kejayaan Islam dimana Thariq bin Ziyad pernah datang dan menaklukkan Spanyol. Kasih menatap rombongan Raja yang perlahan menjauh dari sisi dermaga, kesedihan dan kecewa tidak lagi dapat dielakkan. "Kau tidak perlu menangis, nak! Sejarah akan berulang, ingat ini baik-baik!" Mendengar seseorang bicara dalam bahasa yang sangat dikenalnya membuat Kasih heran dan mencari-cari sumber suara. "Anda ..., Laki-laki tua di perundingan arbitrase politik Muawiyyah, bukan?" disanalah Kasih pernah melihat laki-laki tua itu berada. Berdiri bersama pasukan prajurit Khalifah terakhir sebelum keputusan diambil. Sengketa dan bau kecurangan memang terasa. Wajar setelahnya lahirlah berbagai aliran pe

Selendang

Tubuh kita basah dipayungi selembar selendang bianglala pada gerimis sisa hujan. Padahal sudah kauingatkan tentang payung sewarna langit senja. Aku justru meninggalkannya di sisi rumah. Lihat, di atas sana! Ada jembatan bidadari berpagut rona jingga surya, kau percaya? Mereka turun kala hujan gerimis di sisa hujan. Jangan! Jangan ditunjuk, mereka makhluk halus yang mudah sekali tersinggung. Cukup lihat saja baik-baik! Indah, bukan? Tapi, aku justru lebih menikmati indah warna matamu yang berkilatan. Ohh ... tidak! Penyakitku kambuh, dan ajaibnya bahumu adalah penawar paling ampuh. Kuresap romantisme hangat tubuhmu dalam pelukan, lantas mendekap lebih lama. Dengar, ada yang ingin kusampaikan! Ketika nanti ragaku ditelan bumi, aku ingin sebelumnya dapat mengirimkan sajak-sajak ke dalil-dalil nafasmu. Kamu adalah bianglala, selendangi hati saat spektrum warna-warni rasanya kuteguk perlahan. Merah, dengan kamu adalah setengah jiwa yang berdiam di paru-paru dan kui

Lacertilia

Pada langit kutatap luasnya, sambil melipat kening, kurapal makhluk bernama kadal berulang-ulang. Bukan main, makhluk berdarah dingin itu bersatu menjadi anak-anak bangsa. Lacertilia, ohh … Lacertilia , licin walau tanpa lendir, berkilau dengan warna pelangi memukau mata, lidah-lidah panjangnya pandai nian menari-nari, menangkap mangsa. Lacertilia, ohh … Lacertilia , di masa nenek moyang yang telah purba, kau dipuja laksana penguasa alam, Boraspati ni Tano , berdiam diri di tanah, menjaga kesuburan. Pada jejak Romawi, kau lambangkan kebiasaan penyembah matahari yang mencari ketenangan jiwa, kematian sementara dan kebangkitannya. Serupa Yin dalam simbol spiral ganda, iman berpusat pada bumi lewati arus duniawi dan semesta. Lacertilia, ohh … Lacertilia . Kini zaman berubah, maknamu dusta di mulut mereka yang menebar pesona, demi kursi mencapai langit, mulut mereka berbuih tawarkan janji sejahterakan penduduk Negeri, lahirkan buih-buih lautan, diterjang efemoral. Buih-buih l

Pintu Terakhir

Pintu utama serupa gerbang terbuka. Deritnya banal. Gemuruh, suara hiruk pikuk menghalau gentar sela-sela hati. Baju-baju besi beradu, membentur serangan-serangan lawan. Pintu-pintu lainnya mulai dibuka satu persatu, wujud-wujud mengerikan hadir tambahkan gentar nyali. Buas, lapar, amarah dan terancam gabung membaur. Hidup-mati diputuskan kali ini. Sinis garis senyumanku lahir. Aku akan memanen ladangku. Bayangkan keindahan, betapa bahagianya dan itu akan terjadi. Tapi, jika tiba-tiba aku sendirian berkuda di padang rerumputan hijau dengan sinar mentari menyapa wajah, aku yakin, pasti sudah sampai di Elysium. Terberkatilah aku, terberkati. Delapan puluh pintu Colosseum menganga, menarik berpasang mata ke arena pepasiran. Bertemu tingkat kasta per kasta. Memandang nanar pergulatan panjang antar manusia dengan manusia dan manusia dengan hewan buas, terhidang. Anyir darah, sabetan pedang, dentingan tombak dan benturan baju besi bak orkestra lahirkan simfoni kematian. Menga

Mawas

Goggle Kamu datang dengan segenap ketakutan, nafas menderu, gelisah. Aku tidak mampu berbuat apa-apa selain menatapmu dalam diam. Biarkan saja dulu waktu bekerja, akan ada bagianku setelahnya. Tanganmu mengulur, meraih bahuku, sigap kupeluk tubuh lusuhmu, haru. Mata kita bertemu, penuh hasrat kau jelajahi tubuhku, mencari kehangatan serupa, seperti sebelumnya dalam inginmu. Lagi kutatap matamu, kamu berkisah tentang syurga yang terampas. Kicauan burung yang meninabobokan, harum dedaunan melambai, dibelai angin, lalu desiknya bangkitkan hasrat laparmu, sedang aliran sungai tidak pernah bisu, hatimu merekah dalam cinta. Tangismu seketika pecah, bahasa tubuh tidak sepenuhnya membuat otak kecilku paham. Latar belakang yang jauh dari pepohonan membuatku gamang selain membaca barisan aksara pada lembar-lembar kulitnya yang dijilid rapi. Kutawarkan nikmatnya cairan murni yang keluar diantara kotoran dan darah. Kamu suka. Lagi kutatap matamu yang kini berbinar terang. Ada kisah ke

Salju di Hati Tuan

Goggle  Pagi riuh dengan kicau burung-burung diiringi desau dedaunan dan desah rerumputan, embun yang telentang menyelip, tawarkan cinta peluruh dahaga. Tuan terjaga, duduk di sisi pembaringan sembari menatap jendela. Kosong, hanya ada rindu mengeja wajah. Perapian kini berisik, ratapannya adukan rintihan angin musim dingin yang membelai rambut panjangmu Tuan, harum sekali. Tajam matamu renungkan fenomena musim demi musim yang melompat-lompat beraturan dalam taman batin. Salju pertama turun. Ada badai di hatimu, Tuan? Hidangan hangat diatas meja seketika beku sebab sentuhanmu. Parah sekali. Tumpukan salju lembah dan pepohonan tanpa daun, persis lambangkan penderitaanmu, Tuan. Tuan layak butuh pertolongan dari cengkraman dingin menusuk dan angin kejam yang berhembus kencang. Suara lonceng terdengar di kejauhan. Orang-orang berjubah gelap dan terang merangkak tertatih punguti hikmah kalam alam. Kenapa ada salju? Sebab itu pilihanmu. Berapa lama lagi bongkahan es

Merah Saga

Langit selama ini hanya melihat. Menyaksikan semua tingkah laku brutal dan kejam tanpa belas kasihan, bahkan langit bagai pasrah menatap perilaku menggelikan sekalipun dari makhluk bumi yang dikangkangi borok-borok peradaban. Sudah beribu-ribu tahun langit merekam kehidupan. Berdiam diri dan masih tetap biru. Cantik ketika cerah, muram di kala mendung, lantas gelap di saat malam. Langit masih tetap sama. Sama seperti beribu-ribu tahun sebelumnya.  Setia memayungi makhluk bumi dan menjadi layar waktu pergantian bagi bintang gemintang.  Masih sama. Tapi, pada Gaza, langit lusuh, seakan berjalan miring. Debu-debu dari reruntuhan bangunan menguap terbang mencium udara, menunggangi angin, lantas menatap sedih dari ketinggian, seketika elegi menjadi hujan deras. Kisah konflik berkepanjangan ini sudah dimulai lebih dari enam puluh delapan tahun yang lalu. Saat portal rezim keji dibuka, menyambut hari petaka dikenal Nakbah bagi negeri terjajah. Langit sewarna merah saga.  Pendu

Catatan Kaki Segelas Teh Hangat

Matahari tumbang ditelan rinai hujan, perlahan merangkak serahkan tongkat pergantian waktu pada gelap malam. Barisan pejalan kaki teguh melangkah, ramai serupa myrornas krig , berperang melawan lelah dengan hujan yang tidak lagi menjadi masalah. Ditengah tubuh-tubuh besar dan gagah, ada bocah kecil menggigil. Kain penutup tubuhnya bukan penghalang bagi hujan unjuk kemampuan kapilaritas . Perlahan dingin bersemayam, rampas hangat kulit tubuhnya. Bocah kecil gigil, bibir mungilnya merapal doa yang diajarkan bunda, sedang kakinya masih lincah melangkah. Angin tidak mampu menggagalkan inginnya. Kutawarkan segelas teh hangat. Tangan mungil pucat telentang, berkerut-kerut sambut hangat pekatnya air merah kehitaman. Manisnya kini mengundang senyuman. Untuk apa kamu ikut, nak? Menggantikan bapak. Kemana bapak? Tidak ada. Sudah tiada. Teh hangat mengunci sunyi, memeluk haru membiru. Airmata buncah lantas berkeluaran semaunya. Kalimat bocah patah-patah dengan gigil seseka

Luruh

Aku luruh ke bumi bersama angin. Bukan, bukan angin satu-satunya yang mampu melakukan itu. waktu pun mengambil peran, aku jatuh bersama mereka. Alami. Aku luruh ke bumi mencium tanah kering, terkadang basah. Bukan, bukan matahari satu-satunya yang mampu membakar diamku, hujan juga berperan, aku rapuh, jatuh bersama mereka. Alami. Aku tidak membenci angin yang bertiup. Aku tidak membenci waktu yang menua. Aku tidak membenci matahari yang hangat sekalipun panas membakar. Aku tidak membenci hujan yang basahnya menggigit dingin tulang-tulang hijau tubuh. Aku luruh ke bumi bersama angin, matahari, hujan dan digenapi waktu. Aku tidak benci. Aku luruh bersama marah dan sedih jadi satu, tersangkut pada ranting-ranting, kadang meranggas di sela-sela ilalang hingga hitam. Aku teriak mereka tidak mendengar. Aku terisak dan terguncang tapi mereka tidak paham. Aku tidak berdaya, mereka malah bahagia sambil pesta. Aku luruh menjauh dari kekasihku, ter

Pahit Manis

Secangkir kopi kita genggam. Aromanya merebak penuhi udara dalam ruang bagai Dao , tidak berbentuk, tidak pula terlihat, menjadi proses adanya wujud yang disebut De . Bercampur-aduk keduanya kental sensasikan ketenangan, lembut dan pada kenyataannya abadi dalam ingatan, setia mengantar kita ke nirvana  sebentuk rasa dari ujung hingga pangkal lembar di padang papila .¹) Pada pekat hitamnya, jelas-jelas mengaduk kehidupan kita dalam dua puluh empat jam yang terus berulang, tanpa sadar memaksa kita kembali melipat kening berkerut-kerut. Menatap lembaran hidup. Kita sesap perlahan hangatnya yang berangsur dingin sambil menggiring waktu, merayap mantap lewati terowongan jiwa. Kamu dan aku, mungkin juga dia, yang kita sepakati sebagai sejarah. Suara denting pada alas cangkir kopi yang kamu letakkan mengalihkan perhatianku akan terangnya siang di rongga langit-langit malam. Mata-mata kita terjaga, masing-masing hanyut dengan masa lalu pada punggung yang mulai rapuh. Aroma kopi

PANASEA

gbr: Lisza21.Wordpress.com Kau benar-benar membuatku mabuk. Antara sadar dan tidak aku mengikuti jejak-jejak samar. Mencarimu. Firasatku, sebentar lagi akan sampai. Di depan sana, ada jurang dengan selimut kabut tebal. Katanya jurang itu tidak berdasar. Jika jatuh, maka jatuhlah dalam damai. Disana, aku memilih dan mencari posisi di tepi bibirnya, memungut puing-puing nafas. Pada hidup, ada lelah, lesu luar biasa, bahkan putus asa. Kususun menumpuk hingga tercipta satu kastil megah. Kutatap langit lekat-lekat. Mencari kamu yang beribu detik aku rindu. Pintu langit kuketuk. Tak ada jawaban, seketika kabut menjadi gelap, angin kencang, diatas sana raksasa mengambang, hitam, diiringi kilatan api dan gelegar batuknya yang garang. Hujan datang, tombak-tombak runcingnya kusesap menjadi tangis tak terlihat. Lalu kupinjam selendang kilat, mencambuknya sekali ayun hingga runtuh kastil megah yang kusebut lara. Benarlah kata orang, hadirmu dapat menghapus jejak keresahan, ke

Perahu

Ku sampirkan mangata untukmu. Berharap mudahnya kamu amati lekuk arah. Jangan tersesat lagi, sayang! Tersesat itu menyesakkan, bukan? Pesan kutitip lewat dersik . Tapi, kenapa lama sekali hadirmu, sayang? Bahkan siluetmu tak kunjung mengisi absensi rasi bintang di beranda malam. Halai-bilai hatiku menunggumu pulang. Kamu kemana, sayang? Sepai sudah rinduku. Berantakan, bertaburan dengan isi perut yang keluar bersama darah semerah hati melukis luka. Luka rindu. Birai-birai tubuhku menggigil dikecup angin. Kamu tidak cemburu, sayang? Cepatlah pulang. Langit seakan berlayar miring. Aku jadi khawatir kau tenggelam. Raksasa kini muntah. Apa badai merantaimu? Oh, tidak. Jarum-jarum elegi kini mencipta karat-karat ditubuhku. Cepatlah pulang, sayang!  --------------- Ok, ini jangan buru-buru ditanggapi, ya! Saya baru beberapa hari belajar membuat prosa liris. Sekali lagi, baru belajar, jadi harap maklum, yaa. Menurut seorang teman, prosa liris yang saya pelajari i

Sendirian

Goggle        Masa hidupku sudah habis. Selama ini, aku hanya menjalankan hari-hariku dalam kesendirian.        Memandang kehidupan dari atas sini tampak begitu menyenangkan. Angin membelai tubuhku, dinginnya terasa menusuk tulang.        Dari ketinggian banyak sekali yang dapat diamati. Ibu-ibu yang pergi dan pulang ke rumah dengan keranjang belanjaan yang penuh, para lelaki yang meninggalkan rumah di pagi hari dan kembali kala senja mulai lengser, langit menjingga. Lalu, anak-anak yang berlarian riang sepulang sekolah.        Aku menikmati kesendirian ini dengan suka cita, hingga sampai pada waktu aku tergeletak tak berdaya di atas tanah dingin, kotor dan basah.  Sendiri itu sungguh tidak menyenangkan. Aku meminta kesempatan, ingin menemuinya. Pria di balik jendela itu. -------        "Ga .., Saga, bangunlah! Hari sudah siang."        "Emm ... siapa?"        "Ini aku, ah ...  sudahlah, percuma rasanya bicara sama orang yang nyawanya belum n

Cinta si Embun Pagi

Ratapmu kabarkan permintaan hati yang teraniaya sunyi. Kita tahu jika kehilangan adalah hak-Nya yang diletakkan di kaki kokoh nan Maha Perkasa. Ia berkehendak, kita terlibat dan mau tidak mau menerima bulat-bulat untuk nikmati hikmat yang sepat-sepat sedap. Kamu pernah kehilangan, sedangkan aku terlalu sering hilang, efemoral . Aku adalah hasil ayut -nya malam yang tenang dengan suhu dingin. Lahir pada pagi hari mendahului surya. Lantas hilang saat sinar kuningnya menganga. Aneh, pada setiap renkarnasi, aku selalu terlahir disini. Duduk mengamatimu dari jauh lewat bingkai jendela ruang sendu. Tapi aku suka, hingga bagai dendam, kusimpan cinta dalam diam. Lihatlah! embun-embun pagi yang lahir di dedaunan hijau menempel, bergoyang, berkilau bak mutiara saat sinar matahari membelah cakrawala, menyapa lembar kehidupan baru. Aku ingin menghiburmu. Embun itu tampak indah, kan? Maaf, sebenarnya aku kurang setuju. Embun memang indah, tapi akan lebih indah jik

Petuah Lautan

Google Kamu ingat? Kita pernah bersama waktu memulai perjalanan seribu langkah dari satu langkah kecil. Mencium bibir pantai, membelainya, lantas diam-diam mengambil sekerat senyum daratan kembali menuju lautan. Kerinduan ini jelas terlihat. Aku tidak pernah ingin hidup lagi, di tempat dimana kamu tidak ada di dalamnya. Tuhan pun tidak juga memanggilku. Mungkin Dia marah, seperti aku yang marah pada Dia. Saatnya menjauh dari jurang kehilangan, mencari jalan. Sauh kuangkat, nekad. Pengembaraanku jelas. Aku akan pulang, menemuimu. Ada petuah yang kita simpan tentang lautan. Bagaimana mengusiknya adalah pantang larang. Kutabur remah-remah kulit telur ke lautan. Hamparan sutra biru tua terlihat berkilau didebui sinar rembulan. Langit malam ini indah, diiringi suara riak air laut dipermainkan angin. Terdengar seperti rayuan memanggil hujan jadi badai. Petuah kupantang, maaf, tapi ini caraku pulang. Riak air laut menggarang, berubah gelombang. "Datanglah hujan, badai,

Mengeja Rasa

     "Aku mulai lelah," lirihmu kala itu.      Cinta yang kaubaringkan di pintu waktu mulai membeku. Dingin, sepi, nyeri dan misteri jadi satu serupa altar persembahan menawarkan korban.      Mungkinkah kasih ini kian lama menguap, hingga habis dihembus angin? Lembar lidahku tak lagi menyimpan remah aksara. Kelu. Pilu menyetubuhi awan dan langit, menjamah ruhku.      Padang rinduku seketika buram, menggamit dinding bola mata hingga menggenang uap bening, sesaat lalu jatuh mencipta gerimis.      "Mari, kita coba kembali mengeja rasa di hati masing-masing, baiknya berhenti sejenak!" ajakmu memaksa segelas racun terjun, membakar lambung kalbu.      Berhari-hari tekak ini termenung, memandang sinis aliran sungai di lembah rindu yang arusnya landai menggiring ke samudra cinta.      Penyakitan. Aku menjadi dinding lusuh diterjang ombak lautan. Mati rasa dan hampir saja rasaku mati.       Aishh ..!      Sampai kapan kaumendebuiku, mencipta pucat pada le

Hujan dan Gelandangan

             Kata-kata telentang. Sepasang matamu sendu menatap awan yang kepayahan mengandung hujan. Sebentar lagi, ya, sebentar lagi awan akan melahirkan.       Kan? Uap air serupa anak-anak kecil terjun susul menyusul, riang diiringi selendang api menari-nari.      Petrikor seketika gentayangan. Merasuki indera pembau menyesakkan rongga dada.      Pemuda dekil lusuh pemilik mata sendu tersenyum senang. Ketampanannya tertutup rambut liar yang tumbuh dengan bebas. Tubuhnya basah. Hatinya basah.      Aku sudah datang. Kamu senang? Saatnya mengisi perut yang sedari tadi diamuk demonstran. Tapi maaf, yang ada hanya ini: air hujan.      Dingin menggerayangi tubuhmu, kala kumuntahkan ingatan pada lembar langit.      Jangan pergi! K alimat yang bagai mantra itu menahan ruhmu berpindah.      "Ah. Akan ada saatnya pergi. bahkan sebelum ini, tak kurindukan mati sebelum menemukannya." ucapmu beberapa hari yang lalu.      Minumlah kawan, sebany

L Dimana Kamu?

Hanya garam yang dapat memahami asin pada dirinya. Ketika yang lainnya tak kunjung kumengerti. L .., ini kalimat pembuka pada puisimu. Bintang senja. Kali inipun demikian, dengan aku yang mulai mampu memahami pencarianku. Beberapa prosa liris mengambil sebagian hatiku. Tidak rela rasanya hidup berjalan dengan timpang. Sama seperti dulu. Ketika tinta penamu menjeratku dalam kantong-kantong aksara. Aku mulai berenang dalam lembar-lembar sajak, menatap, menjamahnya lantas tersenyum bersama jari-jari waktu yang berlalu. Pencarianku mulai genap kini. Kunci-kunci peti imajiku terbuka hanya dengan mendengar senandungnya. L .., dia seperti kamu yang misterius di lembar lidah. Menuntunku mengenal ladang sastra lainnya tanpa sengaja. Sayangnya aku tidak mampu berterimakasih layaknya manusia pada umumnya, karena dunia kita sesungguhnya ada diantara langit dan bumi. Aku berharap dia selalu dapat mengisi tembang-tembang dalam akar puisi ini, L. Jikapun tidak, setidaknya dia telah membuka ku

Mengenangmu

-Ketakutan dan rasa tidak tenang membuatku enggan melanjutkan hidup- (Seson Lee San, 1775/02/05)        15 November. Waktu yang sekaligus menjadi proses terbukanya sebuah gerbang. Tampak samar, terlihat tubuh jalan dengan warna hitam pekatnya lewat celah pintu yang perlahan terbuka.  Tanggal bersejarah untuk pertemuan yang fatal. Aku mengenangmu.        Tujuh tahun silam aku berdiri bimbang seorang diri. Nyata, hanya sendiri. Bingung dengan doa-doa yang ingin kupanjatkan pada Pemilik Cinta. Embun pagi mencium pori-pori kulit saat kupacu laju motor hitam menembus jalan kota kembang. Kata-kata tumpah memenuhi rongga dada. Jelas saja sesaknya menyebabkan air mata jatuh tanpa daya.        Doa itu senjata. Itulah kalimat yang mampu menarik sedikit garis senyumku. Membantuku tertatih berdiri memasang posisi menarik busur rapuhku ke arah langit. Anak panahku pendek. Tapi tahukah kamu, bilah panah pendek yang disarungkan dengan laras panjang jika ditembakkan, sangat tajam dan luar

Lepaskan

Ketika rumahku terbakar habis, aku dapat melihat bulan pada malam harinya tanpa rintangan. (Biksu Zen) ----      Seekor gagak diburu oleh berpuluh gagak lainnya. Ia berusaha melarikan diri dengan terbang secepat mungkin. Usahanya masih belum tampak ketika sesekali ia melihat ke belakang, gagak-gagak yang mengejarnya malah semakin dekat.       Gagak kemudian berfikir untuk melepaskan sekerat daging yang berada di paruhnya. Saat keratan daging itu lepas dari paruh dan jatuh ke bawah, arus gagak-gagak yang mengejarnya tadi berubah. Puluhan gagak itu mengejar daging yang jatuh. Mereka terbang susul menyusul memperebutkan keratan daging. Siapa yang kuat, siapa yang cepat, siapa yang bertahan, maka dialah yang dapat.      Ruang langit seketika sunyi dan sepi, jauh dari hiruk pikuk suara puluhan gagak yang berkoak. Terasa tenang dan menyenangkan. Sang gagak melanjutkan perjalanan. Ruang langit yang damai menyambutnya. --o0o--      "Apa yang kau baca?"